PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) membukukan laba bersih Rp 1,12 triliun hingga triwulan III 2020. Capaian tersebut, meroket hingga 39,72% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai Rp 801 miliar. Padahal laba bank pelat merah ini anjlok hingga 41% pada semester I lalu.

"Ini cukup berbeda dengan kondisi di ekonomi, di mana pada saat pendemi Covid-19, kami malah bisa memiliki laba bersih yang meningkat," kata Direktur Utama BTN Pahala Mansury dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (22/10).

Ia menjelaskan pertumbuhan laba bersih bisa terjadi karena pada periode triwulan III dan IV 2019, BTN meningkatkan rasio pencadangan dari kredit macet alias non-performing loan (NPL). Adapun, per akhir September 2020, coverage ratio BTN atas NPL ada di level 111,36%.

Selain itu, laba bersih BTN juga ditopang penurunan beban bunga dan efisiensi. Beban bunga BTN tercatat turun 3,49% secara tahunan menjadi Rp 11,95 triliun hingga September 2020. Penurunan beban bunga tersebut ditopang aksi korporasi dalam memangkas dana berbiaya mahal.

Pemangkasan tersebut mampu menekan biaya pendanaan atau Cost of Fund (CoF) hingga 70 basis poin (bps) sejak akhir 2019. Strategi efisiensi yang dilakukan Bank BTN juga sukses menekan angka Cost to Income Ratio (CIR). Pada September 2020, CIR BTN turun 141 bps dari 57,13% pada September 2019 menjadi 55,72%.

BTN mencatatkan Dana Pihak Ketiga (DPK) hingga September 2020 naik 18,66% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dari Rp 230,35 triliun menjadi Rp 273,33 triliun. Kenaikan DPK diharapkan mampu melonggarkan likuiditas perusahaan. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) berada di level 93,26% pada triwulan III 2020.

Pahala mengatakan meski ada tantangan pandemi, DPK industri perbankan memang mengalami peningkatan signifikan. Namun, pertumbuhan DPK di BTN termasuk yang di atas rata-rata industri. Informasi yang dia dapat, DPK industri perbankan tumbuh 15-16% secara tahunan hingga triwulan III tahun ini.

"Pertumbuhan DPK kami berasal dari deposito yang mengalami 25%. Tapi DPK yang berasal dari dana murah seperti giro, juga mengalami pertumbuhan hingga di atas 22%," kata Pahala.

Dari sisi kredit, BTN menyalurkan kredit senilai Rp 254,91 triliun hingga September 2020. Di tengah pandemi Covid-19 yang membuat permintaan kredit lesu, membuat total kredit BTN tersebut tercatat turun 0,8% dibandingkan dengan kredit pada periode yang sama tahun lalu senilai Rp 256,93 triliun.

Penurunan tersebut, salah satunya disebabkan oleh penurunan kredit komersial yang tercatat Rp 27,45 triliun. Penyaluran kredit komersial turun 29,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 39,96 triliun.

Kredit perumahan rakyat (KPR) subsidi yang masuk dalam kredit konsumer, menjadi salah satu penopang kredit BTN. Hingga September 2020, KPR subsidi senilai Rp 103,6 triliun, tumbuh 3,4% dibanding Rp 100,17 triliun pada triwulan III 2019.

Meski begitu, Pahala melihat kredit hingga akhir tahun ini bakal tumbuh 2-3%. Optimisme tersebut timbul dari tren penyaluran kredit per bulan yang mengalami peningkatan dalam enam bulan terakhir. Pada April 2020, kredit per bulan yang disalurkan BTN hanya Rp 1,87 triliun. Sedangkan kredit yang disalurkan pada September 2020 saja mencapai Rp 4,4 triliun.

"Kami optimistis realisasi kredit dari bulan-bulan ke depan, diharapkan akan mengalami peningkatan. Bahkan kami optimistis Oktober 2020 dan November 2020 bisa lampaui Rp 5 triliun per bulan," kata Pahala.

Sementara itu, kualitas kredit BTN pada triwulan III 2020 memburuk yang terlihat dari rasio kredit seret alias NPL gross yang mengalami peningkatan menjadi 4,56%. Padahal, sebelumnya NPL gross BTN pada triwulan III 2019 ada di level 3,54%.

Meski begitu, Pahala menargetkan mampu mencapai rasio NPL pada akhir tahun di bawah 4,5% dengan melihat kondisi penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi di wilayah DKI Jakarta. Ia mengaku, dengan adanya penerapan PSBB yang lebih ketat, membuat proses pembayaran kredit menjadi terhambat.