Potret Kinerja Keuangan Bank BUMN di Era Pandemi Covid-19

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Layanan perbankan di masa pandemi Covid-19
Penulis: Ihya Ulum Aldin
16/2/2021, 12.14 WIB

Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kinerja industri perbankan dalam negeri, termasuk bank pelat merah. Meski begitu, bank-bank yang tergabung dalam himpunan bank milik negara (Himbara) mampu mencatatkan kinerja positif, meski terjadi beberapa penurunan dibandingkan 2019.

Dari sisi profitabilitas, laba bersih mayoritas bank BUMN mengalami penurunan signifikan. Berdasarkan nilainya, laba PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) masih menjadi yang paling tinggi yaitu Rp 18,66 triliun. Sayangnya laba bersih ini turun hingga 45,78% dibanding 2019 senilai Rp 34,41 triliun.

Laba bersih dengan nilai besar dicatatkan oleh PT Bank Mandiri Tbk senilai Rp 17,11 triliun. Capaian laba bersih Bank Mandiri juga mengalami penurunan hingga 37,71% dari tahun sebelumnya Rp 27,48 triliun.

Profitabilitas PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) juga mengalami penurunan hingga 78,68% secara tahunan. Pada 2020, laba bersih BNI hanya Rp 3,28 triliun, sedangkan periode setahun sebelumnya mampu mengantongi laba Rp 15,38 triliun.

Sementara, laba bersih PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) 2020 tercatat memiliki nilai paling kecil Rp 1,6 triliun. Namun, laba bersih BTN ini menjadi satu-satunya yang tumbuh, bahkan signifikan yaitu 666,51% dibanding 2019 yang hanya Rp 209 miliar.

Plt. Direktur Utama Bank BTN Nixon LP Napitupulu menjelaskan kenaikan laba bersih secara signifikan ini, salah satunya disebabkan penurunan beban bunga yang lebih tinggi dibandingkan penurunan bunga kredit. Pendapatan bunga bersih BTN pada 2020 senilai Rp 9,12 triliun atau naik 0,48% dari 2019 Rp 9,07 triliun.

"Laba bersih naik karena penurunan beban bunga lebih tinggi dari penurunan bunga kredit. Jadi kami bisa laba bersih dari penurunan cost of fund (biaya dana)," kata Nixon dalam paparan kinerja secara virtual, Senin (15/2).

Kenaikan laba bersih juga disebabkan pendapatan operasional yang naik hingga 18,96% menjadi Rp 2,51 triliun sepanjang tahun lalu. Dengan begitu, laba dari operasi BTN pun naik 16,87% menjadi Rp 4,58 triliun.

Hal yang membuat perolehan laba BTN berbeda dengan tiga bank BUMN lainnya adalah alokasi pencadangan atau provisi. Di saat bank-bank lain mencadangkan dana lebih besar untuk provisi, demi mengantisipasi risiko kredit, BTN justru menguranginya. BTN menurunkan pencadangan sepanjang 2020 hingga 35,12% hanya Rp 2,26 triliun.

Strategi pencadangan dengan nilai yang besar di BTN sudah dilakukan sejak 2018, yang menyisihkan Rp 1,71 triliun, lebih besar 93,89% dari tahun sebelumnya. Kemudian berlanjut pada 2019 dengan menaikkan pencadangan hingga 103,44%. Akibat pencadangan yang besar ini, laba BTN pada 2018 turun 7,23% dan 92,56% pada 2019.

Karena pencadangan yang dilakukan turun, perolehan laba bersih BTN tahun lalu bisa naik. Sementara bank BUMN yang lain tidak. Laba Himbara lainnya mengalami penurunan drastis pada 2020, disebabkan oleh naiknya pencadangan.

Ambil contoh Bank Mandiri yang menyisihkan Rp 22,89 triliun untuk pencadangan, naik hingga 44,33% dibandingkan 2019 yang hanya Rp 22,76 triliun. Jika pencadangan tidak dinaikkan, bisa saja capaian laba bersih Bank Mandiri tahun lalu lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Pencadangan tersebut perlu dilakukan karena tahun lalu, bank-bank tersebut melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap nasabah yang bisnisnya terdampak Covid-19. Restrukturisasi ini, juga sejalan dengan Peraturan OJK yang dikeluarkan sejak Maret 2020 dan berlaku hingga Maret 2022.

Seperti di Bank Mandiri yang per akhir Desember 2020 lalu menyetujui restrukturisasi kepada nasabahnya dengan nilai Rp 123,4 triliun, naik dari posisi April 2020 yang hanya Rp 37 triliun. Pencadangan yang dilakukan Bank Mandiri, karena ada risiko debitur yang direstrukturisasi akibat dampak pandemi Covid-19, turun menjadi kredit seret.

Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan, dari hasil pemantauan setiap bulan terkait perkembangan arus kas debitur tersebut, 10-11 % masuk dalam kategori berisiko tinggi untuk menjadi kredit seret alias non-performing loan (NPL).

"Sebagai antisipasi dari peningkatan NPL kontribusi dari 10% dari debitur restrukturisasi yang diestimasikan downgrade, Bank Mandiri sudah secara bertahap mencadangkan CKPN tambahan sejak Maret 2020 setiap bulan kita jalankan," kata Siddik dalam paparan kinerja Bank Mandiri, Kamis (28/1).

Restrukturisasi kredit di BRI juga naik, dimana per Desember 2020 nilainya Rp 186,6 triliun, naik drastis dari posisi Maret 2020 yang Rp 14,9 triliun. Sementara, restrukturisasi di BNI mencapai Rp 102,38 triliun per Desember 2020, dimana 1,4% di antaranya berpotensi untuk masuk ke dalam NPL.

Meski pencadangan di BTN mengalami penurunan, namun bukan berarti BTN tidak melakukan restrukturisasi kredit sepanjang 2020. Total restrukturisasi BTN tahun lalu mencapai Rp 57,5 triliun dengan 6% di antaranya berpotensi mengalami penurunan kualitas kredit menjadi non-performing loan.

Penyaluran Kredit Bank BUMN

Dari sisi fungsi intermediasi, BNI mampu mencatatkan pertumbuhan kredit paling besar tahun lalu sebesar 5,29%. Kredit yang disalurkan BNI 2020 lalu mencapai Rp 586,2 triliun sedangkan setahun sebelumnya kredit yang disalurkan nilainya Rp 556,77 triliun.

Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini menjelaskan mayoritas penyaluran kredit BNI diberikan kepada segmen korporasi dengan total Rp 309,7 triliun atau tumbuh 7,4% secara tahunan.

Pertumbuhan segmen kredit juga terjadi pada bisnis kecil 12,3% menjadi 84,8 triliun. Sementara, untuk bisnis menengah hanya Rp 67,2 triliun, turun 7,6% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara kredit konsumer, mayoritas diberikan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) yang senilai Rp 46 triliun atau tumbuh 4,3 triliun Sementara, untuk payroll loan, mampu tumbuh hingga 14,3% secara tahunan menjadi Rp 30,3 triliun.

Kredit BRI sepanjang 2020 juga mengalami pertumbuhan hingga 3,89% menjadi Rp 938,37 triliun. Kredit BTN pun tercatat mampu mengalami pertumbuhan 1,68% secara tahunan menjadi Rp 260,11 triliun.

Sementara, di tengah turunnya permintaan kredit, Bank Mandiri mengalami penurunan penyaluran kredit hingga 1,61% secara tahunan menjadi Rp 892,8 triliun pada 2020. Selain penurunan kredit, kualitas kredit yang tercermin pada rasio NPL di Bank Mandiri tahun lalu mengalami kenaikan menjadi 3,1% dari 2,3% pada 2019.

Kenaikan NPL juga terjadi pada BRI dari 2,8% pada 2019 menjadi berada di level 2,99% pada 2020. Kredit seret pada BNI juga mengalami kenaikan dari 2,3% menjadi 4,3% pada 2020. Hanya BTN yang mampu menurunkan rasio NPL dari 4,78% pada 2019 menjadi 4,37% pada 2020.

Dari segi pendanaan, seluruh bank milik pemerintah mampu mencatatkan pertumbuhan dana pihak ketiga yang pesat. DPK dengan nilai paling besar dicatatkan oleh BRI senilai Rp 1.121 triliun, tumbuh 9,78% dari 2019 lalu yang senilai Rp 1.021 triliun.

DPK Bank Mandiri pun mengalami pertumbuhan hingga 12,24% menjadi Rp 1.047 triliun sepanjang 2020. BNI pun mampu menjaring DPK senilai Rp 679,45 triliun atau mengalami pertumbuhan 10,6%. Begitu juga dengan BTN, dimana mampu menghimpun dana senilai Rp 279,14 triliun atau mengalami pertumbuhan 23,84%.

Akibat melimpahnya DPK di industri perbankan, membuat likuiditas bank-bank milik pemerintah tersebut mengalami pelonggaran. Hal itu terlihat rasio pinjaman dibanding simpanan alias loan to deposit ratio (LDR).

LDR BRI mengalami pelonggaran dari 88,45% pada 2019 menjadi 83,7%. Lalu, LDR BNI juga mengalami penurunan dari 91,5% menjadi 87,3%. Bank Mandiri mencatatkan LDR di level 84,3% pada 2020, turun dari 2019 yang di level 96,5%. Pelonggaran juga terjadi di BTN, dimana LDR-nya menjadi 93,19% dari sebelumnya 113,5%.

Penurunan LDR di BTN di bawah level 100% menjadi yang pertama kali terjadi sepanjang berdirinya bank yang fokus pada bisnis kredit perumahan. "Bank ini dari 71 tahun lalu masalahnya ada di likuiditas. Persoalan 71 tahun itu selesai pada 2020, yang menariknya selesai di era Covid-19," kata Nixon.