Bursa Efek Indonesia (BEI) mengeluarkan peringatan terkait adanya potensi penghapusan pencatatan (delisting) saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dari papan utama.
Potensi delisting merujuk pada Pengumuman Bursa No. Peng-SPT-00011/BEI.PP2/06-2021 tanggal 18 Juni 2021 perihal Penghentian Sementara Perdagangan Efek PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Selain itu, mengacu pula pada Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa.
"Bursa dapat menghapus saham perusahaan tercatat apabila mengalami kondisi atau peristiwa yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat," ujar Kepala Divisi Pengaturan dan Operasional Perdagangan BEI Irvan Susandy dalam pengumuman tertulis di laman BEI, dikutip Selasa (21/12).
Pengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha yang dimaksud baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status perusahaan tercatat sebagai perusahaan terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Bursa juga dapat menghapus saham perusahaan tercatat yang akibat penghentian perdagangan (suspensi) di pasar reguler dan pasar tunai hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.
"Sehubungan dengan hal itu, maka saham PT Garuda Indonesia telah disuspensi selama enam bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 18 Juni 2023," katanya.
Untuk itu, pihak BEI meminta publik untuk memperhatikan dan mencermati segala bentuk informasi yang disampaikan oleh perusahaan.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra enggan memberi komentar terlalu banyak. Dia hanya mengatakan akan menanggapi peringatan BEI dalam beberapa waktu ke depan. "Nanti ya tanggapannya," ujarnya kepada Katadata, Selasa (21/12).
Berdasarkan data per 30 November 2021, pemegang saham Garuda Indonesia saat ini terdiri dari, Negara Republik Indonesia 60,54%, PT Trans Airways 28,27%, dan masyarakat 11,19%.
Sebelumnya, maskapai pelat merah ini telah mengajukan proposal perdamaian kepada para kreditur terkait Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Emiten berkode saham GIAA ini berencana melakukan rekonsiliasi di luar pengadilan.
Hari ini, Selasa (21/12), Garuda Indonesia memulai rapat kreditur pertama untuk menyelesaikan persoalan restrukturisasi utang. Emiten industri penerbangan berkode GIAA ini berharap kreditur dapat memilih cara paling menguntungkan kedua pihak.
"Dalam rapat kreditur pertama, kami berharap kreditur bisa mendengarkan kenapa Garuda masuk proses PKPU serta offer (menawarkan) struktur yang paling menguntungkan dari Garuda terhadap kreditur, vendor, supplier (pemasok), bond holder (pemegang obligasi)," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Prasetio dalam paparan publik, Senin (20/12).
Sebagai informasi, total utang perseroan telah mencapai US$ 9,8 miliar atau Rp 140,56 triliun (Asumsi kurs Rp 14.343/US$). Adapun, proposal yang akan GIAA usulkan telah melalui pembahasan dengan sejumlah konsultan yang dipilih perseroan.