Kronologi Perjalanan Investasi Telkom di GoTo, Untung atau Buntung?

Dokumentasi GOTO
Investor ritel memborong saham IPO GoTo
Penulis: Lavinda
30/5/2022, 17.53 WIB

Beberapa waktu terakhir, muncul polemik terkait investasi PT Telkom Indonesia TbK (Telkom) di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Sejumlah pihak menilai keputusan Telkom untuk berinvestasi di decacorn Tanah Air itu telah membuahkan potensi kerugian yang cukup besar. 

Penilaian ini diungkapkan berdasarkan harga saham GoTo yang sempat merosot ke level di bawah Rp 300, dari harga pencatatan perdana saham Rp 338 pada April lalu.   

Sebenarnya, bagaimana kronologi perjalanan investasi Telkom di GoTo?

Berdasarkan dokumen GoTo yang diperoleh Katadata.co.id, Senin (30/5), disebutkan, Telkomsel menandatangani perjanjian investasi melalui obligasi konversi atau convertible bond (CB) sebesar US$ 150 juta pada November 2020. Ini ditambah hak pembelian saham preferen sebesar US$ 300 juta.

"Juli 2020, Gojek memiliki kas Rp 16,8 triliun. Sedangkan, per 31 Desember 2020, Gojek tercatat memiliki kas Rp 15,3 triliun," demikian tercatat dalam dokumen GoTo.

Pada Mei 2021, pembentukan GoTo memicu klausul dalam CB untuk dikonversi menjadi saham, dilanjutkan dengan uji coba pembelian saham tambahan, dengan nilai total US$ 450 juta. Harga investasi Telkomsel di GoTo Rp 270 per saham. Harga saham ini setelah memperhitungkan penyesuaian akibat pemisahan nilai saham (stock split) pada Oktober 2021.

November 2021, GoTo menyelesaikan putaran pertama dan kedua penghimpunan dana pra-IPO dengan valuasi GoTo saat pra-IPO Rp 375 per saham atau 39% lebih tinggi dari harga yang dibayarkan Telkomsel.

Investor global investasi di pre-IPO GoTo antara lain, Adia, Temasek, GIC, Khazanah, Permodalan Nasional Berhad, Google, Primavera, Fidelity, Tencent.

Terakhir, pada April 2022, GoTo resmi menjadi perusahan tercatat di BEI dengan harga penawaran awal Rp 338 per saham.

Sebelumnya, Telkom Indonesia melaporkan jumlah kerugian yang belum direalisasi pada investasi saham GoTo per 31 Maret 2022 tercatat sebesar Rp 881 miliar. Hal ini tercantum dalam laporan keuangan Telkom kuartal I 2022.

Laporan ini disajikan sebagai kerugian yang belum direalisasi dari perubahan nilai wajar atas investasi anak usaha Telkom, Telkomsel, pada Goto, dalam laporan laba rugi konsolidasian. Di sisi lain, harga saham GOTO juga sempat merosot hingga ke level Rp 194 dari harga pada pencatatan perdana saham yakni, Rp 338.

Dalam paparan publik, Jumat (27/5) lalu, Direktur Utama Telkom Indonesia Ririek Adriansyah mengatakan, jumlah kerugian tersebut merupakan perhitungan secara voting.

"Karena dibandingkan saat (Telkom) masuk Gojek pertama sebenarnya itupun masih lebih tinggi harganya. Hanya ketika kita membukukan keuntungan asumsi perhitungan harga saat akhir 2021 lebih tinggi dari akhir 2022. Jadi membukukan potensi kerugian," jelasnya.

Ririek menjelaskan, pihaknya akan lebih berhati-hati dalam berinvestasi di perusahaan rintisan (startup). Namun, perusahaan telekomunikasi milik negara ini juga tetap mencari peluang sinergi dengan startup agar saling menguntungkan. 

"Kalaupun terjadi naik turun harga saham, kami tetap bisa monetisasi melalui sinergi yang ada," ujar Ririek, Jumat (27/5).

Direktur Keuangan Telkom Indonesia Heri Supriadi menambahkan, pada dasarnya Telkom telah mencatat potensi keuntungan investasi saham Gojek sebesar Rp 2,5 triliun. Hal ini diperoleh dari kenaikan harga saham yang semula Rp 275 per saham saat pertama kali berinvestasi menjadi Rp 375 per saham saat pra-IPO.

"Jika dibandingkan harga ketika Telkom membeli saham Gojek pada kuartal I 2022 ini lebih tinggi, tapi saat akhir 2021, kami mencatat harga per saham Rp 375, sehingga sudah gain (untung) Rp 2,5 triliun pada kuartal I," jelasnya.

Menurut dia, Telkom mencatatkan potensi kerugian investasi pada laporan keuangan kuartal I karena perhitungan dilakukan berdasarkan aturan PSAK 71 yang menggunakan harga penawaran saham perdana yakni, Rp 338 per saham.

"Sesuai PSAK 71, maka harga saham saat itu dilihat dari harga penawaran perdana Rp 338. Kalau dibandingkan ini terhadap 31 desember 2021, sebenarnya total masih membukukan keuntungan," papar Heri.