Emiten farmasi BUMN, PT Kimia Farma Tbk (KAEF), berencana mengantarkan anak usahanya yang bergerak di bisnis ritel farmasi untuk melakukan aksi korporasi penawaran umum perdana saham atau initial public offering/IPO.
Direktur Utama KAEF, David Utama, menuturkan opsi penawaran umum perdana saham sangat terbuka bagi segmen bisnis ritel farmasi, mulai dari apotek, klinik, hingga bisnis laboratorium klinik. Sebelumnya, PT Kimia Farma (KFA) apotek termasuk salah satu yang digadang-gadang berpotensi IPO lebih dahulu.
"Semua opsi tentunya terbuka," kata David, dalam kunjungannya ke Redaksi Katadata, Kamis kemarin (10/8).
Apalagi, kata David, Kimia Farma kini mengelola sebanyak 1.424 apotik. "Sehingga potensi untuk di IPO-kan tentu ada," ucapnya.
Selain mengelola jaringan ritel farmasi, ekosistem bisnis KAEF dimulai dari hulu hingga ke hilir. Di hulu, perusahaan saat ini memiliki 10 pabrik farmasi. Perusahaan juga memiliki bisnis distribusi dan perdagangan dari pabrik kimia Farma dan saat ini disalurkan kepada sekitar 48 pedagang besar farmasi.
Sedangkan dari sisi hilir, perusahaan memiliki PT Kimia Farma Diagnostika yang bergerak dalam jasa layanan laboratorium klinik dan klinik kesehatan, anak usaha dari PT Kimia Farma Apotek. Bahkan, ada rencana perusahaan yang saat ini sudah mengelola 400 unit klinik memisahkan khusus layanan dokter gigi.
"Saya bisa mengatakan, Kimia Farma saat ini perusahaan healthcare terintegrasi yang terbesar di Indonesia," ujarnya.
Pada tahun ini, David juga optimistis, dari sisi perolehan laba bersih akan meningkat menjadi Rp 130 miliar di akhir 2023 nanti dengan pendapatan sekitar Rp 11 triliun.
Sinyal membaiknya kinerja perusahaan mulai terjadi pada semester pertama 2023 ini dengan meraup laba Rp 19,47 miliar. Berkebalikan dari capaian enam bulan tahun lalu rugi Rp 206,3 miliar.
KAEF tercatat meraup kenaikan pendapatan 11,7% secara tahunan menjadi Rp 4,95 triliun ketimbang tahun sebelumnya Rp 4,43 triliun.
Bila merujuk pada laporan keuangan perusahaan, tiga pendapatan terbesarnya masih dikontribusi dari penjualan obat ethical Rp 1,51 triliun, penjualan obat over the counter Rp 847,91 miliar. Selanjutnya, pendapatan dari segmen jasa klinik, lab klinik dan alat kesehatan Rp 809,21 miliar.
David mengakui, meski mengantongi pendapatan triliunan, namun pencapaian di sisi bottom line masih terbilang kecil. "Kita gendut di tengah. Artinya, ini masalah dari sisi operasional, masalah efisiensi," tuturnya.
Tercatat, pada periode semester pertama 2023, beban pokok penjualan KAEF naik menjadi Rp 3,11 triliun ketimbang di tahun sebelumnya Rp 2,94 triliun. Namun, perusahaan masih meraup kenaikan laba kotor menjadi Rp 1,82 triliun ketimbang semester pertama 2022 yang senilai Rp 1,47 triliun.