Merger BTN Syariah dan Muamalat, Asetnya Bakal Tembus Rp 114 Triliun

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Ilustrasi. Penggabungan usaha Bank Muamalat dengan UUS BTN ditaksir akan meningkatkan total aset keduanya menjadi Rp 114 triliun, atau bank syariah terbesar kedua di Indonesia setelah PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS).
Penulis: Syahrizal Sidik
24/1/2024, 16.24 WIB

Wacana penggabungan usaha dua bank syariah Tanah Air, BTN Syariah dengan PT Bank Muamalat Tbk. makin menghangat. Selain memisahkan unit usaha syariah (UUS) bagi BTN dengan mengakuisisi bank baru, aksi korporasi ini akan berdampak bagi industri perbankan syariah. 

Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2023, aset gabungan Bank Muamalat dengan BTN diperkirakan mencapai Rp 114,6 triliun, hampir separuh dari aset PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Dengan demikian, jika merger terealisasi, Bank Muamalat dan UUS BTN menjadi bank syariah dengan aset terbesar kedua setelah BSI.

Sementara UUS BTN sendiri tercatat memiliki aset senilai Rp 48 triliun, dan diperkirakan bakal tembus di atas Rp 50 triliun pada publikasi kinerja akhir tahun 2023. Ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah (POJK UUS).

POJK UUS tersebut adalah turunan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), bahwa bahwa bank yang memiliki UUS dengan aset gabungan lebih dari 50% dan/atau total aset UUS mencapai lebih dari Rp 50 triliun wajib untuk melakukan spin off. UUS BTN telah memenuhi kriteria wajib spin off tersebut. 

Direktur Eksekutif Segara Research Institut Piter Abdullah Redjalam,  mengungkapkan dengan merger keduanya, industri perbankan syariah bakal kedatangan pemain bank umum syariah (BUS) baru yang kuat permodalannya dan signifikan asetnya.  

Selain faktor aset, menurut Piter, secara fundamental UUS BTN terbilang solid. BTN Syariah menyalurkan total pembiayaan Rp 35,79 triliun hingga akhir September 2023, tumbuh 17,94% secara tahunan. Sementara laba bersih selama sembilan bulan pertama 2023 mencapai Rp400 miliar, melonjak 70%.  

“Bank hasil merger akan memiliki aset lebih besar dan modal lebih kuat. Fungsi intermediasi juga jauh lebih meningkat dan masyarakat punya lebih banyak pilihan,” kata Piter, Rabu (24/1).

Senada dengan Piter, pengamat perbankan Centre for Banking Crisis Ahmad Deni Daruri menilai Bank Muamalat sebagai bank syariah tertua di Indonesia itu membutuhkan injeksi modal agar bisa lebih ekspansif dan keluar dari persoalan masa lalu.

“Bank Muamalat memang sudah lebih sehat ketimbang 2 tahun lalu, tapi sehat saja tidak cukup. Bank mesti bertumbuh dan modalnya terus ditingkatkan agar bisa menjalankan fungsi intermediasi lebih optimal,” ujarnya. 

 Saat ini, rasio pembiayaan terhadap pendanaan Bank Muamalat atau finance to deposit (FDR) ratio hanya sebesar 45%, jauh di bawah batas ideal. Sementara rasio kecukupan modal (CAR) berada di level 28,67% pada akhir September 2023.

Jika manajemen Muamalat ingin ekspansi untuk menggenjot FDR ke batas ideal, maka CAR bisa tergerus. Pasalnya, setiap penyaluran pembiayaan atau ekspansi bisnis lainnya akan membentuk aset tertimbang menurut risiko (ATMR). Dengan kata lain, bank harus menambah permodalan, menyesuaikan profil risiko dan kebutuhan ekspansi.

“Bank selalu membutuhkan suntikan modal tambahan. Pada titik ini, BPKH tidak bisa terus menerus membenamkan dana haji sebagai tambahan modal,” kata Deni.  

 Lampu Hijau Kemenag dan OJK 

Wacana merger ini mendapat lampu hijau dari Kementerian Agama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan tentunya Kementerian BUMN yang menargetkan penggabungan ini dapat terealisasi di kuartal pertama tahun ini.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan memang belum menerima proposal resmi dari BTN Syariah dan Bank Muamalat terkait rencana penggabungan usaha tersebut. Tapi dia memastikan, OJK tidak akan menolak rencana merger ini. 

"Tidak ada alasan OJK untuk menolak. Aksi korporasi itu adalah hak bank dan itu kegiatan normal saja dalam rangka meningkatkan kinerja mereka," kata Dian kepada Katadata.co.id, Selasa (24/1). 

Dian menjelaskan jika Indonesia perlu bank-bank syariah lain besar selain PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Hal ini dalam rangka mengakselerasi perkembangan dan menyehatkan persaingan yaitu antara bank syariah maupun antar bank syariah dan bank konvensional.

Sementara itu, di tengah reaksi penolakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama tetap memberi sinyal dukungan terhadap merger ini. Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki mengatakan merger kedua bank syariah tersebut merupakan bagian dari penguatan, utamanya baik dari sisi aset maupun permodalan. Menurutnya rencana merger kedua bank syariah ini diharapkan mengembangkan sistem keuangan syariah di Indonesia.

"Tentunya, merger ini kan bagian dari yang diperhitungkan di situ dan kalau rencana merger memiliki kebaikan manfaat banyak ya kami dukung. Ini bagian dari penyehatan perbankan kita," kata Saiful saat ditemui di Jakarta, Rabu (24/1).

Reporter: Patricia Yashinta Desy Abigail