Wabah virus corona mengubah peta perekonomian global di tahun ini, termasuk Indonesia. Salah satu dampaknya, penerimaan negara terutama yang berasal dari pajak diperkirakan tak akan sesuai harapan.
Sejumlah langkah stimulis fiskal yang bakal dikeluarkan pemerintah demi menangkal perlambatan ekonomi akibat virus corona juga menambah beban.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, target penerimaan negara terutama pajak diperkirakan tak akan tercapai pada tahun ini. "Kalau pajak harus revisi turun target setidaknya 10% - 15%," kata Prastowo kepada Katadata.co.id, Selasa (10/3).
Dalam APBN 2020, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp 1.680 triliun. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan kenaikan penerimaan pajak mencapai 23,3% dari realisasi 2019 yang hanya sebesar Rp 1.332,1 triliun.
Prastowo menegaskan bahwa situasi saat ini sangat tidak menguntungkan. Sehingga pemerintah perlu mengantisipasinya dengan merevisi target penerimaan pajak, serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan asumsi makro lainnya.
(Baca: BI Catat Aliran Modal Asing Keluar RI Rp 40,16 T Akibat Virus Corona)
Apalagi, saat ini pemerintah juga banyak mengeluarkan insentif. Kebijakan tersebut antara lainpembebasan pungutan pajak hotel dan restoran telah diberikan pemerintah selama enam bulan untuk 10 daerah destinasi wisata. Sebagai kompensasinya, nantinya pemerintah pusat akan menyalurkan dana Rp 3,3 triliun kepada pemerintah daerah.
Pemerintah bahkan juga berencana membebaskan pajak penghasilan (PPh) sementara kepada orang pribadi dan badan usaha. PPh yang dimaksud yakni PPh Pasal 21 dan Pasal 25. Dengan pembebasan PPh Pasal 21, pegawai akan menerima upahnya secara penuh tanpa dipotong pajak. Kebijakan ini diyakini akan mendorong konsumsi masyarakat.
Sedangkan dengan pembebasan PPh Pasal 25, badan usaha tak perlu membayarkan kewajiban pajaknya untuk sementara waktu sehingga kondisi keuangan perusahaan bisa lebih baik. Sehingga, kinerja perusahaan bisa lebih gencar dalam menggenjot perekonomian Tanah Air.
Dengan berbagai insentif dan stimulus tersebut, Prastowo menjelaskan bahwa shortfall pajak berpotensi melebar di tahun ini. Ia memperkirakan shortfall pajak berpotensi lebih besar dari tahun lalu mencapai Rp 245,5 triliun. "Target pajak perlu direvisi agar shortfall tak melebar," kata dia.
Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah memang belum berhasil mencapai target pajak. Ditambah dengan kekhawatiran wabah corona, tahun ini kemungkinan menjadi tahun ke 11 pemerintah kembali tak mencapai target pajak.
(Baca: Hadapi Corona, Sri Mulyani Bakal Bebaskan Sementara Pajak Penghasilan)
Meski begitu, penerimaan pajak saat ini bukanlah prioritas pemerintah. Aktivitas ekonomi yang terus menurun dinilai Prastowo harus menjadi fokus utama.
Analis Pajak Dani Darrusalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji juga menyarankan pemerintah untuk merevisi target penerimaan pajak. Target tahun ini sebenarnya hanya tumbuh 4% dari target penerimaan tahun lalu Rp1.577 triliun. Namun realisasi tahun lalu yang hanya mencapai Rp1.332 triliun membuat target 2020 harus naik sekitar 23%.
"Angka pertumbuhan ini sepertinya sulit tercapai terlebih jika kita melihat kinerja perekonomian Indonesia dan global selama awal 2020," kata dia.
Virus Covid 19 dan penurunan harga minyak dinilai akan berdampak bagi PPh Badan dan PPN impor. Harga minyak sempat menyentuh level terendah sejak 2016 pada kemari lusa, di level US$ 32 per barel seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.
Berbagai stimulus fiskal juga dapat membuat belanja pajak membengkak. Meski demikian, ia menilai langkah pemerintah memberikan stimulus fiskal saat ini sebenarnya sudah tepat untuk menangkal dampak negatif yang lebih besar pada perekonomian.
Adapun menurut dia, tetap dibutuhkan langkah-langkah antisipatif dalam rangka tetap menjamin kestabilan penerimaan pajak. Perluasan basis pajak serta upaya meningkatkan kepatuhan dari sektor/wajib pajak yang selama ini belum optimal harus digalakkan.
Alternatif Stimulus
Selain stimulus-stimulus fiskal yang sudah diwacanakan pemerintah, Prastowo menyebut moderasi pemungutan juga dapat menjadi pilihan pemerintah di tengah kondisi ekonomi yang bergejolak akibat virus corona. Moderasi pemungutan yakni pemerintah tak perlu terlalu memaksakan pemungutan pajak.
Pemungutan pajak yang terlalu keras saat ini dinilai Prastowo akan membuat kontraksi perekonomian. "Pemerintah juga bisa menawarkan skema angsuran untuk pelunasan pajak," kata dia.
(Baca: Jurus Sri Mulyani Tangkal Corona: Kerek Batas Maksimum Restitusi Pajak)
Selain karena kekhawatiran wabah corona, penerimaan pajak juga berpotensi tertekan akibat penurunan harga minyak dunia.
Berdasarkan analisis regresi Prastowo, setiap kenaikan atau penruunan harga minyak dunia sebesar US$ 1 per barel per tahun, maka penerimaan PPh migas akan mengalami kenaikan atau penurunan sebanyak Rp 776 miliar per tahun. Sementara penerimaan Sumber Daya Alam migas, akan mengalami kenaikan atau penurunan sebanyak Rp 2,7 triliun per tahun.
Adapun harga minyak dunia pada Selasa (10/3) masih berada di level bawah, sekitar US$ 30 per barel setelah anjlok lebih dari 20% pada hari sebelumnya.
Pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia atau ICP dalam APBN sebesar US$ 63 per barel. Rata-rata ICP minyak mentah Indonesia pada Februari 2020 lalu pun hanya mencapai US$ 56,61 per barel, turun sebesar US$ 8,77 per barel dari US$ 65,38 per barel pada bulan sebelumnya.
Di sisi lain, realisasi PPh migas juga anjlok 53% pada Januari dibanding periode yang sama tahun lalu. Penerimaan PPh migas pada Januari hanya mencapai Rp 2,9 triliun.