Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok selama dua tahun terakhir mereda dengan kesepakatan dagang tahap I yang diteken 15 Januari lalu. Namun, kesepakatan dagang tersebut dinilai masih memiliki sejumlah risiko yang dikhawatirkan dapat kembali memantik gejolak pada perekonomian global.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan pemerintah saat ini terus memantau bagaimana dampak kesepakatan dagang tahap I antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang diteken pada pertengahan bulan ini. Kesepakatan antara kedua negara dinilai masih memiliki risiko terhadap perekonomian global.
"Kami terus pantau seberapa besar kesuksesan kesepakan ini, seberapa besar dampaknya terhadap mata rantai pasokan global," ujar Retno dalam Indonesia Data and Economic Conference atau IDE Katadata 2020 yang diselenggarakan Katadata di Grand Balroom Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1).
Menurut Retno, terdapat target perdagangan yang harus dipenuhi dalam jumlah tertentu pada kesepakatan dagang tahap I. Hal ini, menurut dia, berpotensi mengganggu rantai pasokan yang sebelumnya sudah berjalan.
"Ini juga penting untuk dicermati oleh para pebisnis Indonesia," terang Retno.
(Baca: BKPM: Investasi Tiongkok Turun Jika Virus Corona Tak Tuntas 2 Bulan)
Adapun salah satu poin kesepakatan dagang I yakni Tiongkok berjanji untuk meningkatkan pembelian barang dan jasa dari AS mencapai U$ 200 miliar dalam dua tahun.
Menurut riset Fitch Ratings dan Oxford Economics, eskalasi perang dagang menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan global. Berikut dampaknya terhadap sejumlah negara seperti terlihat dalam databoks.
Retno juga menekankan proteksionisme yang merebak di dunia dan ketidakpastian global yang terus terjadi. Apalagi menurut dia, sanksi ekonomi sering kali digunakan sebagai perpanjangan tangan untuk memenangkan rivalitas antarnegara.
"Saat ini kita hidup di dunia yang tidak mudah, semua sangat encer, dinamis, dan banyak ketidakpastian. Rivalitas di bidang politik meningkat dan sanksi ekonomi sering digunakan sebagai kepanjangan tangan," ungkap dia.
Dalam menghadapi ketidakpastian global, menurut dia, diplomasi akan menjadi salah satu andalan pemerintah dalam mendukung perekonomian. Menurut dia, diplomasi ekonomi tak hanya penting untuk menarik investasi luar negeri ke dalam negeri tetapi juga menjaga investasi Indonesia di luar negeri.
(Baca: Perang Dagang hingga Resesi yang Menghantui Ekonomi 2020)
Retno mencontohkan upaya peningkatan hubungan dagang dan bisnis di Afrika yang didorong menggunakan hubungan politik yang baik antara kedua negara. Hasilnya, menurut dia, sangat signifikan.
Di sisi lain, Retno menekankan pentingkan penciptaan stabilitas dan perdamaian dalam menjaga pembangunan ekonomi dan bisnis. Dalam hal ini, Indonesia terus meningkatkan kontribusinya terhadap dunia.
"Selain menjadi Dewan Keamanan PBB, kita menjadi Dewan Keamanan HAM PBB, dan saya juga saat ini mennjadi Ketua Global Health and Foreign Policy," terang Retno.
Co-Founder, Managing Partner, and Member of The Investment Comittee of Northstar Patrick Waluyo menilai tak akan ada banyak yang berubah dari tensi hubungan dagang antara AS dan Tiongkok. Oleh karena itu, perang dagang tetap akan menjadi risiko yang perlu diwaspadai.
"Tensi antara AS dan Tiongkok bisa jadi lebih buruk, ini bukan faktor Donald Trump tapi dari politik dalam negeri AS," kata Patrcik.
Kendati demikian, Patrick masih optimistis perekonomian global tahun ini lebih baik. Hal ini seiring dengan kekhawatiran resesi AS yang mereda dan kebijakan bank sentral yang mendorong lebih banyak likiuiditas ke pasar keuangan.
Meski AS akan tetap menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia, menurut Patrick, peran Asia dalam perekonomian global akan semakin besar. Saat ini, Tiongkok menempati posisi kedua ekonomi terbesar, disusul oleh Jepang dan Korea Selatan.
"Kontribusi Eropa terhadap perekonomian global semakin mengecil," ungkap dia.
Adapun Indonesia, menurut dia, sebenarnya memiliki keuntungan dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir lantaran memiliki hubungan politik yang baik. Ekonomi Tiongkok pun masih memiliki peluang untuk tetap tumbuhn meski saat ini sedang menghadapi masalah perlambatan.
"Tiongkok saat ini memimpin Asia dan kita bisa tumbuh bersama mereka," kata Patrick.