Rupiah Mengawali 2020 Paling Kuat di ASEAN, Berikut Faktornya

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Rupiah sejak penutupan akhir tahun lalu hingga perdagangan Senin (20/01) rupiah telah menguat 1,64% ke posisi Rp 13.639 per dolar AS.
Penulis: Agustiyanti
21/1/2020, 06.30 WIB

Nilai tukar rupiah pada perdagangan awal tahun ini terus bergerak menguat bahkan sempat menyentuh level Rp 13.627 per dolar AS, terkuat sejak Maret 2018. Rupiah bahkan tercatat paling kuat di antara mata uang negara ASEAN dalam hampir tiga pekan pertama tahun ini.

Mengutip Bloomberg, sejak penutupan akhir tahun lalu hingga perdagangan Senin (20/01) rupiah telah menguat 1,64% ke posisi Rp 13.639 per dolar AS. Penguatan rupiah terjadi saat mata uang negara ASEAN dan sejumlah mata uang Asia lainnya melemah.

Tahun lalu, performa terbaik mata uang Asia terbaik dimenangkan oleh baht Thailand. Namun, mengawali tahun ini, mata uang Negara Gajah ini berbalik melemah 2,2%. Peso Filipina juga lunglai 0,61%, dolar Singapura 0,13%, kip Laos 0,03%, dolar Brunei 0,23%.

Sementara itu, ringgit Malaysia menguat 0,77%, kyat Myanmar 1,56%, riel Kamboja 0,05%, dan dong Vietnam 0,01%.

(Baca: Belum Intervensi, BI Ingin Rupiah Terus Menguat)

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menyebut faktor utama yang mendorong penguatan rupiah saat ini adalah derasnya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia. Di awal tahun, menurut dia, para manajer investasi biasanya melakukan reposisi aset dan Indonesia merupakan salah satu negara dengan imbal hasil yang menarik.

"Indonesia dianggap masih menarik dari sisi imbal hasil, terbukti dari hasil lelang yang cukup bagus," ujar David kepada Katadata.co.id.

BI sebelumnya mencatat aliran modal asing yang masuk dalam 10 hari pertama tahun ini mencapai Rp 10 triliun. Jumlah tersebut pun diperkirakan sudah meningkat signifikan saat ini.

"Saya belum lihat angkanya, tapi dana asing di obligasi sudah masuk Rp 15 triliun awal tahun ini," kata David.

Ia memperkirakan rupiah sepanjang tahun ini akan menguat seperti tahun lalu seiring masih derasnya aliran modal asing masuk. Tahun lalu, dana asing yang masuk ke investasi portofolio mencapai Rp 224 triliun. Alhasil, rupiah berhasil menguat 3,8% sepanjang tahun lalu.

Selain itu, harga komoditas seperti minyak sawit mentah atau CPO yang membaik juga akan menopang rupiah pada tahun ini. Menurut dia, penguatan rupiah saat ini kemungkinan belum memperhitungkan konversi dolar yang dilakukan oleh para eksportir CPO.

(Baca: Ekspor-Impor Lesu, Defisit Neraca Dagang 2019 Turun jadi US$3,2 Miliar)

Meski demikian, David menilai masih terdapat potensi gejolak pada rupiah. Perang dagang, kondisi Timur Tengah, dan arah suku bunga The Fed dapat memberikan sentimen negatif. Untuk itu, ia berharap BI menahan laju penguatan rupiah agar tak anjlok terlalu dalam jika terjadi gejolak global.

"BI saat ini masih membiarkan rupiah. Perlu ada intervensi karena dikhawatirkan impor juga bisa melonjak dan defisit transaksi berjalan bisa membengkak dan agar saat ada gejolak tak terlalu anjlok," jelas dia. 

Sementara itu, Vice President Monex Investindo Futures Ariston Tjendra menjelasan rupiah pada awal tahun ini mendapat kekuatan dari kesepakatan dagang antara AS dan Tiongkok. Kesepakatan ini diharapkan dapat memulihkan perekonomian kedua negara yang merupakan partner dagang utama Indonesia.

Data-data perekonomian dalam negeri yang cukup bagus, menurut Ariston, juga memberikan sentimen positif terhadap rupiah. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu diperkirakan stabil di kisaran 5%, sedangkan neraca perdagangan meski defisit tetapi jauh menurun dibanding posisi 2018.

"Tingkat inflasi juga stabil di kisaran 3%, ini juga positif untuk rupiah," ujar dia.