Bank Dunia: RI Belum Mampu Naik Kelas dari Negara Menengah - Bawah

ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Ilustrasi. Indonesia saat ini masih masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah.
3/10/2019, 16.56 WIB

Bank Dunia mengungkapkan penyebab Indonesia masih masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah. Salah satunya, lantaran Indonesia belum mendapat manfaat dari urbanisasi seperti negara lain, meski peningkatannya terbilang cepat.

Hal ini terungkap dalam laporan Bank Dunia bertajuk "Mewujudkan Potensi Perkotaan Indonesia" yang dirilis Kamis (3/10). 

Global Director for Urban, Disaster Risk Management, Resilience, and Land Global Practice  Bank Dunia Sameh Wahba menjelaskan, pada proklamasi kemerdekaan tahun 1945, hanya satu dari delapan orang atau 8,5 juta orang Indonesia yang tinggal di perkotaan.  Namun saat ini, sekitar 151 juta orang atau 56% dari populasi Indonesia tinggal di kawasan perkotaan.

Kendati demikian,  peningkatan pembangunan dan kesejahteraan Indonesia lebih lambat dan lebih sulit daripada laju urbanisasi yang cepat. Menurut Sameh, meski hampir setiap orang mendapatkan manfaat secara absolut, kemajuan yang dihasilkan urbanisasi tidak meraata di kota-kota dan di seluruh Indonesia.

"Oleh karena itu, Indonesia tetap menjadi negara berpenghasilan menengah bawah. Urbanisasi seharusnya membawa manfaat penting, karena sejalan dengan pengentasan kemiskinan," kata Sameh di Jakarta, Kamis (3/10).

(Baca: Ekonomi Global Diprediksi Makin Lesu, Bagaimana Nasib Indonesia?)

Saat ini, Bank Dunia membagi negara-negara di dunia dalam empat kelompok pendapatan, yakni kelompok negara berpendapatan rendah dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar US$995 ke bawah, negara berpendapatan menengah ke bawah di kisaran US$996-3.895, negara berpendapatan menengah ke atas US$3.896-12.055, dan negara pendapatan tinggi atau maju yakni di atas US$12.056. Adapun pada akhir tahun lalu, Indonesia mencatatkan pendapatan nasional per kapita sebesar US$ 3.840.  

Ia menjelaskan pada rentang waktu 1996 hingga 2016, tiap 1% kenaikan penduduk Indonesia di perkotaan hanya menciptakan peningkatan 1,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Ini sangat kecil dibanding negara-negara berkembang lain di Asia Timur dan Pasifik yang dapat menciptakan 2,7% PDB per kapita.

Selain itu, kota-kota di Indonesia juga menghadapi tantangan agar dapat menjadi tempat tinggal yang nyaman. Tantangan tersebut datang akibat kemacetan lalu lintas, polusi, kurangnya perumahan yang terjangkau, dan terbatasnya layanan dasar. 

Lewat laporannya, Bank Dunia mencatat, kemampuan Indonesia untuk merealisasikan potensi penuh urbanisasi akan bergantung pada pengelolaan kekuatan kemacetan yang lebih baik. Hal ini timbul akibat bertambahnya tekanan penduduk kota pada infrastruktur, layanan dasar, tanah, perumahan, dan lingkungan.

(Baca: BI Ramal Aliran Masuk Modal Asing Bakal Makin Deras)

Sehingga, Bank Dunia pun mengusulkan tiga prinsip dasar dalam memperbaiki urbanisasi di Indonesia. Pertama, prinsip augment, yakni memperluas cakupan dan meningkatkan mutu layanan dasar serta infrastruktur untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan peluang yang setara, dan mengurangi ketimpangan modal manusai.

Kedua, prinsip connect, menghubungkan orang dengan pekerhaan dan layanan dasar di dalam kota, serta menghubungkan kawasan perkotaan yang memiliki ukuran yang berbeda satu sama lain. Di sisi lain juga dengan daerah pedesaan dan sekitarnya dan tak lupa dengan pasar internasional.

Ketiga, prinsip target, yaitu menarget tempat dan orang yang tertinggal dalam proses urbanisasi agar manfaat kemakmuran urbanisasi mereka rasakan dan perkotaan layak huni bagi semua orang.

Bank Dunia pun memproyeksikan urbanisasi akan semakin meningkat seiring pemadatan pemukiman, penambahan infrastruktur dan fasilitas, perubahan klasifikasi wilayah dari pedesaan ke perkotaan, dan pertumbuhan penduduk. Lembaga tersebut pun memproyeksi pada 2045 mendatang, sekitar 220 juta orang atau 70% penduduk Indonesia bakal tinggal diperkotaan. 

Reporter: Agatha Olivia Victoria