DPR Usul 1% Dana Transfer Daerah untuk Tambal Defisit BPJS Kesehatan
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengusulkan agar daerah bisa berkontribusi menambal defisit keuangan pada Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Salah satunya, dilakukan dengan mengalokasikan 1% dana transfer daerah untuk membiayai asuransi negara itu.
"Bisa tidak agar daerah ikut punya tanggung jawab terhadap kesehatan? Bisa tidak ini dana transfer daerah dipotong 1% untuk BPJS Kesehatan," katanya dalam rapat bersama Kementerian Keuangan di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (11/9).
BPJS Kesehatan memproyeksi defisit keuangan pada tahun ini dapat mencapai Rp 32,8 triliun. Adapun dalam postur sementara Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, dana transfer daerah tercatat Rp 784,95 tirliun.
"Kalau 1% saja dari Rp 600 triliun katakanlah keseluruhan transfer ke daerah, itu kan ada Rp 6 triliun," ucap dia.
(Baca: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Berpotensi Tekan Bisnis Asuransi Swasta)
Usulan tambahan ini menurut ia tak termasuk dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) pemerintah daerah. Saat ini, umlah PBI di daerah yang diakui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat ini mencapai 30% dari total peserta PBI.
Ditemui usai rapat, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto nampaknya tak menyetujui hal tersebut. Saat ditanya mengenai usulan DPR tersebut, ia mengaku sudah ada keterlibatan anggaran tersendiri terhadap defisit BPJS Kesehatan.
"Kalo BPJS tadi kan sudah ada jalurnya, jadi tanpa TKDD atau apa tetap akan perlibatannya. Jadi sebenarnya sudah ada jalurnya masing-masing," ujarnya.
(Baca: Iuran BPJS Naik, Subsidi Kesehatan Orang Miskin Bertambah Jadi Rp 49 T)
Dari tahun ke tahun, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit. Pada 2014, defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan hanya mencapai Rp 1,9 triliun.
Kemudian di tahun 2015, melonjak menjadi Rp 9,4 triliun. Lalu turun pada 2016 menjadi Rp 6,7 triliun dan kembali melonjak menjadi Rp 13,8 triliun pada 2017. Sementara tahun lalu, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 9,1 triliun.
Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan terdapat empat akar masalah defisit BPJS Kesehatan. Permasalahan pertama, struktur iuran BPJS masih di bawah perhitungan aktuaria atau underpriced. Kedua, banyaknya Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dari sektor mandiri atau informal yang hanya mendaftar pada saat sakit lalu berhenti membayar iuran setelah mendapatkan layanan kesehatan.
Ketiga, tingkat keaktifan peserta mandiri atau informal yang cukup rendah atau hanya sekitar 54%. Sementara, tingkat utilisasi atau penggunaannya dinilai Sri Mulyani sangat tinggi. Adapun permasalahan terakhir, menurut dia, beban pembiayaan BPJS Kesehatan pada penyakit katastropik yang sangat besar yakni 20% dari total biaya manfaat.