Boris Johnson Jadi PM Inggris, Rupiah Kembali Ke Level Rp 14.000/US$

Arief Kamaludin|KATADATA
Setelah seminggu berada di level Rp 13.000 per dolar AS, rupiah hari ini, Rabu (24/7) menyentuh level Rp 14.009 per dolar AS pada pukul 11.45 WIB.
24/7/2019, 12.29 WIB

Setelah seminggu berada di level Rp 13.000 per dolar AS, rupiah hari ini, Rabu (24/7) menyentuh level Rp 14.009 per dolar AS pada pukul 11.45 WIB. Nilai tersebut mengalami pelemahan 0,17% dibanding penutupan semalam.

Tak hanya rupiah, dolar Hongkong tercatat melemah 0,03%, dolar Taiwan melemah 0,06%, peso Filipina 0,23%, rupee India melemah 0,03%, yuan Tiongkok 0,04%, ringgit Malaysia 0,06% dan baht Thailand.

Namun, pound Inggris dan euro menguat terhadap dolar AS pada pagi hari ini. Tercatat, masing masing menguat sebesar 0,06% dan 0,07% dari penutupan pasar spot perdagangan.

Kemarin, Boris Johnson resmi terpilih menjadi perdana menteri Inggris yang baru menggantikan Theresa May. Kondisi tersebut menjadi perhatian pasar. Dilansir dari Bloomberg, Johnson sebelumnya berencana memisahkan Inggris dari Uni Eropa pada Oktober mendatang tanpa ada kesepakatan perdagangan (no-deal Brexit).

Pasar menilai, jika Inggris benar-benar akan memisahkan diri dengan cara tersebut, perekonomian negara itu bisa mengalami resesi yang sangat dalam. Mayoritas mata uang Asia saat ini melemah sementara pound Inggris tetap kuat.

(Baca: Rupiah Melemah Tipis, Bergerak di Level Rp 13.970 per Dolar AS)

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global di tengah kekhawatiran efek perang dagang dan kemungkinan no-deal Brexit.

IMF memperkirakan, perekonomian dunia pertumbuhannya mencapai 3,2% tahun ini dan 3,5% pada 2020. Proyeksi ini turun 0,1% dari prediksi April. Angkanya menjadi yang terendah sejak 2009.

Lembaga itu juga menurunkan ekspektasi pertumbuhan volume perdagangan barang dan jasa global. Angknya turun 0,9 poin menjadi 2,5% pada 2019. “Proyeksi pertumbuhan pada 2020 adalah genting, dengan anggapan stabilisasi ekonomi di negara berkembang dan kemajuan penyelesaian kebijakan perang dagang,” kata IMF dalam pernyataan tertulisnya.

Reporter: Agatha Olivia Victoria