Terimbas Perang Dagang, Ekspor Mei 2019 Naik 12,4% Secara Bulanan

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi aktivitas ekspor-impor di pelabuhan. Akibat perang dagang ekspor Indonesia sepanjang Mei 2019 naik 12,4%. Ekspor ke AS dan Tiongkok terus mengalami peningkatan.
24/6/2019, 15.03 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia pada Mei 2019 mencapai US$ 14,74 miliar atau naik 12,42% dibanding April 2019. Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh meningkatnya ekspor migas dan nonmigas.

Menurut data BPS ekspor nonmigas meningkat 10,16% yaitu dari US$ 12,37 miliar pada April 2019 menjadi US$ 13,63 miliar. Sedangkan ekspor migas melonjak hingga 50,19% dari US$ 741,9 juta menjadi US$ 1,11 miliar.

Peningkatan ekspor ini terjadi di tengah ketidakpastian global dikarenakan meningkatnya eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. "Tantangan menggenjot ekspor ini luar biasa sulitnya, namun kita ternyata masih bisa menghadapinya," ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Gedung BPS, Jakarta, Senin (24/6).

Hal ini tercermin dari meningkatnya ekspor nonmigas ke negara yang sedang dirundung perang dagang yakni AS dan Tiongkok. BPS mencatat ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada Mei 2019 mencapai US$ 1,63 miliar, naik US$179,2 juta atau 12,32% dibanding April 2019. Sedangkan ekspor nonmigas ke Tiongkok mencapai US$ 2,23 miliar, meningkat US$ 151,3 juta atau 7,27%.

(Baca: Di Atas Prediksi, BPS Catat Neraca Dagang Mei Surplus US$ 210 Juta)

Tak hanya itu, sebagai dampak lanjutan dari perang dagang, ekspor nonmigas ke Jepang juga mengalami peningkatan sebesar US$ 133,8 juta atau naik 12,56% dari bulan sebelumnya atau pada bulan Mei ini tercatat berjumlah US$ 1,19 miliar.

Secara kumulatif, Tiongkok tetap merupakan negara tujuan ekspor utama dan terbesar Indonesia dengan nilai US$ 9,55 miliar atau 15,13% dari total ekspor. Jumlah ini diikuti AS dengan nilai US$ 7,25 miliar atau 11,49%, dan Jepang dengan nilai US$ 5,67 miliar atau 8,98%.

"Komoditas utama yang diekspor ke Tiongkok pada periode tersebut adalah lignit, batubara dan minyak kelapa sawit," kata Suhariyanto.

Adapun kenaikan ekspor ini dinilai Suhariyanto merupakan sinyal positif bagi neraca dagang Indonesia kedepannya. Dia menilai kenaikan ekspor saat ini cukup stabil di tengah tantangan ekonomi global yang luar biasa besarnya. Oleh karena itu, dia menilai pemerintah, harus melakukan upaya terbaik dalam terus menggenjot ekspor dengan terus memperhatikan kondisi eksternal.

(Baca: BPS: Ekspor April 2019 Turun 13,1% Jadi US$ 12,6 Miliar)

Kinerja Ekspor Berdasarkan Komoditas

Selain itu, peningkatan terbesar ekspor nonmigas pada Mei 2019 terhadap April 2019 terjadi pada produk lemak dan minyak hewan/nabati yang naik sebesar US$ 178,0 juta atau 14,97% secara bulanan. Sedangkan penurunan terbesar terjadi pada produk bijih, kerak dan abu logam sebesar US$ 131,1 juta atau 49,05% secara bulanan.

Sepanjang Januari hingga Mei 2018, ekspor dari 10 golongan barang (HS 2 digit) memberikan kontribusi 46,76% terhadap total ekspor nonmigas. Namun dari sisi pertumbuhan, ekspor 10 golongan barang tersebut turun 11,41% terhadap periode yang sama tahun lalu.

Secara sektoral, ekspor produk industri pengolahan meningkat 12,40% yang disumbang oleh peningkatan ekspor minyak kelapa sawit. Demikian juga ekspor produk pertanian yang meningkat 25,19% dikarenakan meningkatnya ekspor sarang burung.

Adapun ekspor produk pertambangan dan lainnya turun 1,76% disumbang oleh penurunan ekspor biji tembaga. Karena itu, ekspor nonmigas Indonesia menurut sektor industri pengolahan selama lima bulan pertama tahun ini turun 6,27% dibanding periode yang sama 2018.

(Baca: Dampak Berantai Perang Dagang AS - Tiongkok terhadap Ekonomi Indonesia)

Sementara itu, menurut provinsi asal barang ekspor terbesar Indonesia pada Januari-Mei 2019 berasal dari Jawa Barat dengan nilai ekspor mencapai US$ 12,43 miliar atau sebesar 18,14% dari total ekspor. Peningkatan terus menerus dari provinsi ini dinilai Suhariyanto merupakan hal yang wajar karena dari segi komoditas, Jawa Barat memiliki banyak produk unggulan.

"Kalau untuk wilayah lain juga ada kemungkinan bisa menyaingi Jawa Barat, cuma belum dalam waktu dekat ini. Karena menciptakan komoditas baru itu 'kan tidak mudah," tutupnya.

Reporter: Agatha Olivia Victoria