Bank Indonesia (BI) menilai ketidakpastian ekonomi global semakin mereda setelah Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The US Federal Reserve (The Fed) menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga acuannya, Fed Fund Rate (FFR) tahun ini. Kebijakan tersebut akan meningkatkan aliran masuk modal asing ke Indonesia yang akan mendorong penguatan nilai tukar rupiah.
Pada Rabu (20/3) waktu AS, The Fed mengumumkan bunga FFR tetap pada level 2,25-2,5%, yang semakin menguatkan ekspektasi pasar akan sikap dovish The Fed. Tidak hanya menahan bunga FFR, The Fed juga memberikan sinyal kenaikan bunga FFR yang lebih rendah dalam jangka menengah, setidaknya selama dua tahun kedepan.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan, kini sumber tekanan terbesar terhadap perekonomian global berasal dari perang dagang antara AS dan Tiongkok yang belum menemukan, serta ketidakpastian Brexit.
"Selama 2018 terdapat tiga faktor global yang menekan nilai tukar rupiah. Satu dari tiga faktor global yang menekan nilai tukar rupiah tahun ini sudah menemukan titik terang," kata Nanang usai menjadi pembicara dalam dalam acara pelatihan wartawan ekonomi dan moneter Bank Indonesia, di Yogyakarta, Sabtu (23/3).
(Baca: Rupiah Menguat Usai The Fed Pertahankan Suku Bunga)
Hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis (21/3) memberi sinyal yang semakin jelas bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunga untuk tahun ini. Nanang menilai kebijakan ini akan mendukung penguatan dan stabilitas nilai tukar rupiah. Hal tersebut menjadi dasar keyakinan BI bahwa volatilitas rupiah tahun ini akan lebih stabil dibandingkan 2018. Sehingga diharapkan dapat memberikan iklim usaha yang lebih kondusif serta terjaganya stabilitas perekonomian.
Meski tekanan dari normalisasi kebijakan moneter AS telah berkurang, Nanang mengungkapkan arah kebijakan BI untuk bunga acuan masih akan dipertahankan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter dari tekanan eksternal.
"Tekanan eksternal bisa saja meningkat tahun ini. BI perlu mewaspadai dinamika ekonomi global yang bisa memberikan efek rambatan terhadap negara berkembang, seperti pelemahan perekonomian AS, Tiongkok, Jerman, dan Perancis. Walau ada yang memprediksi ekonomi global akan bangkit tahun ini," jelas Nanang.
Sementara dari dalam negeri, kondisi fundamental perekonomian domestik turut memberikan dorongan terhadap penguatan nilai tukar rupiah. Seperti pertumbuhan ekonomi yang terjaga stabil di kisaran 5% serta tingkat inflasi yang rendah di bawah level 3%.
Dengan nilai tukar yang lebih kuat, Nanang yakin defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akhir tahun ini akan turun menjadi 2,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) dibandingkan 2,98% terhadap PDB pada 2018. "Secara fundamental stabilitas di 2019 lebih baik. Stabilitas rupiah juga akan lebih baik dibandingkan 2018," pungkas Nanang.
(Baca: Sempat Dibuka Melemah, Rupiah Lanjutkan Penguatan Hari Ini)