Pemangkasan tarif pajak jadi salah satu ide yang “dijual” pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk meraih dukungan dalam Pilpres 2019. Hal ini mendapat sorotan dari Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo.
Prastowo mengingatkan, ide penurunan pajak harus dikaji dengan baik guna memastikan keberlanjutan penerimaan negara dan program ekonomi yang lebih besar. Ia pun berharap, kedua paslon bersikap rasional dan tidak masuk dalam pertarungan janji tarif pajak terendah.
“Semoga kedua paslon tidak justru terjebak dalam "race to the bottom" yang dapat merugikan bangsa ini secara keseluruhan,” kata dia dalam keterangan persnya, Sabtu (23/3).
(Baca: Delapan Janji Reformasi Perpajakan dan Ekonomi Prabowo-Sandi)
Dalam catatannya, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengusung tema pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Selain itu, PPh usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), khususnya perusahaan rintisan atau start up di bidang digital.
Di sisi lain, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sempat menyinggung soal rencananya menurunkan tarif PPh badan. Lantas, apakah ide pemangkasan tarif pajak dari kedua paslon ini masuk akal?
(Baca: Temui Ribuan Pengusaha Kakap, Jokowi Janji Ringankan Pajak Korporasi)
Secara umum, tarif PPh badan di Indonesia bukan yang tertinggi di ASEAN. Tarif PPh Badan saat ini 25%. Sementara itu, tarif PPh badan di Filipina 30%, Myanmar 25%, Laos 24%, Malaysia 24%, Thailand, Vietnam, dan Kamboja 20%, serta Singapura 17%.
Di sisi lain, untuk PPh orang pribadi, tarif tertinggi di Indonesia 30% (tarif progresif 5-30%). Tarif tertinggi ini setara yang berlaku di India, namun lebih rendah dari Vietnam, Thailand, Filipina, dan Amerika Serikat yang sebesar 37%, Korea Selatan 42%, TIongkok, Afrika Selatan, Inggris 45%, Belanda 52%, Denmark 55,8%, Jepang 56%, dan Swedia 61,85%.
Menurut Prastowo, penurunan tarif PPh badan sangat dimungkinkan. Hal ini seiring dengan perluasan basis pajak setelah adanya program pengampunan pajak (tax amnesty), berlakunya kerja sama global pertukaran informasi secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI), dan peningkatan pengawasan wajib pajak.
(Baca: Ditjen Pajak Persilakan Capres yang Mau Ungkap SPT Pajak ke Publik)
Namun, penurunan tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan dampak penurunan penerimaan dalam jangka pendek. Secara umum, tarif pajak yang kompetitif dapat menjadi perangsang bagi investor untuk menginvestasikan dananya di Indonesia. Tapi, belum terdapat bukti empirik yang kuat bahwa penurunan tarif PPh berkorelasi positif dengan kenaikan rasio pajak (tax ratio).
“Indonesia sendiri pernah menurunkan tarif pajak tahun 2000 dan 2008, dan tidak diikuti peningkatan rasio pajak secara signifikan,” kata dia.
Menurut pendapat dia, tarif PPh badan tak dapat diturunkan secara ekstrem. Ia menyarankan penurunan dari 25% menjadi 22% untuk waktu dua tahun, lalu dievaluasi tren dan pengaruhnya ke penerimaan dan investasi. “Jika positif maka dapat diturunkan selanjutnya ke 18%,” ujarnya.
Namun, yang perlu dipahami paslon maupun masyarakat adalah penurunan tarif harus dilakukan dengan revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan. Artinya, prosesnya melalui pembahasan antara pemerintah dan DPR. Adapun saat ini, pemerintah dan DPR sedang membahas revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Sementara itu, untuk tarif PPh orang Pribadi, ia menilai tidak perlu diturunkan karena tarif PPh di Indonesia sudah cukup rendah dibandingkan negara lain. Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki lapisan penghasilan yang dikenai tarif pajak progresif dan menambah lapisan tarif. Tujuannya, supaya lebih adil dan mencerminkan prinsip “yang mampu membayar lebih besar”.
Adapun untuk melindungi kelompok menengah-bawah, ia menilai batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sudah cukup tinggi, yakni Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta/tahun. Di ASEAN, jika besaran PTKP dibandingkan dengan pendapatan per kapita, maka diperoleh persentase Vietnam 35,7%, Indonesia 30,8%, Thailand 23,8%, Singapura 17,1%, dan Malaysia 3,8%.
“Jadi kita sudah termasuk tertinggi, hanya kalah dibandingkan Vietnam,” ujarnya. Yang menurut dia perlu di perbaiki adalah struktur PTKP agar lebih adil dan tepat sasaran, misalnya alokasi untuk kaum difabel, perempuan pekerja, pekerja usia non-produktif, dan lainnya.
Adapun sejauh ini, ia menilai pemerintah melalui kementerian keuangan telah melakukan upaya reformasi perpajakan dan telah menorehkan beberapa perbaikan, baik regulasi maupun administrasi. Meskipin peningkatan-peningkatan tetap harus dilakukan.
Ia pun menyinggung soal beberapa kebijakan perpajakan yang meringankan dalam beberapa tahun ini, seperti penghapusan sanksi administrasi melalui Peraturan Menteri Keuangan PMK-91/ 2015, penurunan tarif revaluasi aktiva tetap dari 10% menjadi 3% melalui PMK-191/2015, penghapusan pajak berganda Dana Investasi Real Estate (DIRE) melalui PMK-200/PMK.03/2015.
Kemudian, amnesti pajak melalui Undang-Undang (UU) 11/2016, PPh Final UMKM dari 1% menjadi 0,5% melalui Peraturan Pemerintah (PP) 23/2018), percepatan restitusi pajak (PMK-39/2018), kebijakan pemeriksaan berbasis risiko (SE-15/2018). Insentif pajak berupa tax holiday yang diperluas dan diperlonggar (PMK-35/2018 dan PMK-150/2018).