Ketatnya negosiasi dagang AS-Tiongkok dan kekhawatiran akan pertumbuhan ekonomi global memicu investor mencari penempatan aman (safe haven) atas dananya. Alhasil, mata uang dolar AS menguat dan membuat banyak mata uang dunia lainnya, termasuk rupiah melemah. Mata uang Garuda terpukul paling besar di Asia dan kembali ke kisaran Rp 14.000.
Nilai tukar rupiah kembali ke kisaran 14.000 mulai Senin (11/2), dan terus bertengger pada kisaran tersebut hingga Selasa (12/2) pagi ini. Saat berita ini ditulis, nilai tukar rupiah berada di posisi 14.092 atau melemah 0,42% dibandingkan penutupan sehari sebelumnya. Ini artinya, rupiah melemah nyaris 1% dalam dua hari perdagangan.
Sementara itu, mata uang Asia lainnya bergerak mixed. Selain rupiah, pelemahan dialami ringgit Malaysia 0,13%, yen Jepang 0,06%, dan peso Filipina 0,05%. Di sisi lain, rupee India menguat 0,2%, begitu juga dengan baht Thailand 0,19%, dolar Singapura 0,1%, yuan Tiongkok 0,09%, won Korea Selatan 0,03% dan Taiwan dolar 0,02%.
(Baca: Risiko Volatilitas Tinggi di Pasar Keuangan pada Paruh Pertama 2019)
Adapun dolar AS masih cenderung kuat. Hal ini tercermin dari indeks DXY yang telah kembali ke posisi 97 atau yang terkuat sejak akhir Desember 2018 lalu. Indeks ini menunjukkan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang mitra dagang utamanya.
Mengutip Reuters, pembicaraan dagang tingkat tinggi antara AS-dan Tiongkok tengah jadi perhatian investor pekan ini. Washington diharapkan tetap menekan Beijing untuk melakukan reformasi struktural berupa proteksi atas hak intelektual perusahaan AS, pengakhiran kebijakan yang memaksa transfer teknologi ke perusahaan Tiongkok, dan pembatasan subsidi industri.
“Dolar AS mendapat keuntungan dari kegugupan investor terkait pembicaraan dagang,” kata Currency Strategist di Bank of Singapore, Sim Moh Siong seperti dikutip Reuters, Selasa (12/2). Ia menambahkan, dengan kebijakan moneter dovish di seluruh bank sentral negara maju, mata uang Greenback juga tampak relatif menarik.
(Baca: Ada Empat Faktor, Gubernur BI Lihat Rupiah Bisa Terus Menguat)
Secara khusus, pelemahan besar rupiah tampaknya bukan hanya karena pengaruh global, tapi juga kondisi domestik, khususnya defisit transaksi berjalan. Bank Indonesia (BI) baru saja merilis data defisit transaksi berjalan 2018.
Defisit mencapai US$ 9,1 miliar atau 3,57% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal IV, membesar dari tiga kuartal sebelumnya. Alhasil, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 31,1 miliar atau 2,98% terhadap PDB untuk keseluruhan 2018. Secara rasio, defisit ini terbesar sejak 2014.
(Baca: Defisit Transaksi Berjalan 2,98% PDB Tahun Lalu, Bagaimana Tahun Ini?)
Defisit yang melebar menunjukkan pasokan valuta asing (valas) dari ekspor impor barang dan jasa, serta pendapatan tidak mampu menutup impornya. Alhasil, Indonesia masih banyak bergantung terhadap pasokan dolar AS dari investasi asing ke pasar keuangan sehingga membuat rupiah rentan gejolak.
Melihat pengalaman sebelumnya, kerentanan ini juga memengaruhi kepercayaan diri investor asing dalam menempatkan dananya di pasar keuangan domestik. Saat ketidakpastian ekonomi global tinggi, pasar keuangan negara berkembang yang mengalami defisit transaksi berjalan menghadapi arus keluar dana asing yang besar sehingga mata uangnya terpukul dalam.