Defisit Transaksi Berjalan 2,98% PDB Tahun Lalu, Bagaimana Tahun Ini?
Defisit transaksi berjalan melebar menjadi nyaris mendekati 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun lalu. Namun, Bank Indonesia (BI) optimistis defisit bisa mereda menjadi 2,5% terhadap PDB tahun ini lewat sederet kebijakan.
Defisit pada transaksi berjalan menunjukkan pasokan valuta asing (valas) dari ekspor tak mampu menutup kebutuhan valas untuk impor. Ini menjadi faktor pemberat kurs rupiah setiap terjadi pembalikan modal asing dari pasar keuangan domestik. Maka itu, pengendalian defisit transaksi berjalan jadi fokus BI dan pemerintah.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik BI Yati Kurniati mengatakan tantangan bagi transaksi berjalan tahun ini berasal dari kinerja ekspor yang lemah. "Ekspor (terpengaruh) dari perlambatan (ekonomi) global maupun harga (komoditas) yang diperkirakan masih terus turun, " kata dia, pekan lalu.
(Baca: BI Nilai Pariwisata Jadi Kunci Penyehatan Neraca Transaksi Berjalan)
Namun, impor semestinya bisa diredam sehingga defisit transaksi berjalan tidak selebar tahun lalu. Ini seiring penerapan kebijakan pengendalian impor seperti kewajiban pencampuran minyak sawit dalam solar 20% atau biodiesel 20% (B20) dan kenaikan tarif impor barang konsumsi bisa membantu meredam.
Defisit transaksi berjalan juga kemungkinan bisa mereda berkat pengembangan pariwisata dan kebijakan di sektor otomotif yang bakal segera terbit.
Neraca transaksi berjalan mengalami defisit US$ 31,1 miliar atau 2,98% terhadap PDB, tahun lalu. Ini nyaris mendekati batas aman 3% PDB. Defisit sempat mencapai 3,18% PDB pada 2013, namun kemudian berangsur turun menjadi 2,95% pada 2014, lalu 2,03% pada 2015, kemudian 1,82% pada 2016, dan 1,6% pada 2017.
Adapun sepanjang tahun lalu, defisit transaksi berjalan tercatat menanjak tiap kuartal. Defisit mencapai US$ 5,3 miliar atau 2,07% terhadap PDB pada kuartal I, sebesar US$ 7,9 miliar atau 3,01% terhadap PDB pada kuartal II, kemudian US$ 8,6 miliar atau 3,28% terhadap PDB, dan mencapai US$ 9,1 miliar atau 3,57% terhadap PDB pada kuartal IV.
(Baca: BI Optimistis Defisit Transaksi Berjalan Susut Mulai Kuartal I 2019)
Hampir semua komponen neraca transaksi berjalan mengalami defisit. Neraca barang defisit total US$ 431 juta, imbas anjloknya surplus neraca nonmigas di tengah meningkatnya defisit transaksi migas. Surplus neraca nonmigas anjlok seiring dengan tingginya impor bahan baku dan barang modal.
Sementara itu, neraca jasa dan pendapatan primer masih mengalami defisit menahun. Neraca jasa defisit US$ 7,1 miliar, sedangkan neraca pendapatan primer defisit US$ 30,4 miliar. Hanya neraca pendapatan sekunder yang surplus yaitu sebesar US$ 6,9 miliar.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam memprediksi defisit transaksi berjalan sedikit membaik pada kuartal I tahun ini. Sejalan dengan Yati, ia menyebut hal itu lantaran dampak kebijakan pengendalian impor mulai terasa. Selain itu, harga minyak relatif tertahan dan nilai tukar juga stabil menguat.
Dengan kondisi seperti itu, pertumbuhan impor akan relatif terjaga walaupun ekspor masih belum bisa didorong di tengah pelemahan ekonomi global. “Dengan demikian, neraca perdagangan (barang) kemungkinan masih defisit tipis. Demikian juga dengan defisit transaksi berjalan,” ujarnya.
Ia mengatakan, perbaikan defisit transaksi berjalan memang tidak bisa dilakukan dengan cepat. Diperlukan reformasi struktural dalam waktu menengah panjang.
Perbaikan struktural tersebut terkait pengembangan substitusi impor dan diversifikasi ekspor. Kemudian, pengembangan pariwisata. Kemudian, untuk memperbaiki neraca pendapatan primer, diperlukan insentif agar investor asing mau menanamkan kembali keuntungan yang diperolehnya dari investasi di indonesia.
“Contoh insentifnya adalah kebijakan reverse tobin tax. Memberikan insentif kepada investor asing agar menginvestasikan kembali return investasi mereka di Indonesia,” ujarnya.