Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali menerapkan strategi penerbitan besar di awal atau front loading surat utang pada tahun ini. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bruto telah mencapai Rp 146,1 triliun atau 17,7% dari target yang sebesar Rp 825,7 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Pengendalian Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan strategi ini sebagai langkah antisipasi terhadap kondisi pasar keuangan global yang masih dibayang-bayangi ketidakpastian. "Untuk antisipasi, kami masih pakai strategi frontloading sifatnya oportunistik," kata dia di Jakarta, Jumat (2/1).
Ia menambahkan, pemerintah akan terus mencermati perkembangan pasar dan bersikap fleksibel. Bila kondisi pasar bergejolak, pemerintah dapat menahan penerbitan SBN. Sebaliknya, pemerintah dapat melakukan penambahan kuota (up size) bila kondisi pasar sedang terkendali, seperti pada awal tahun ini.
(Baca: Imbal Hasil Surat Utang Naik-Turun, Pinjaman Luar Negeri Jadi Bantalan)
Di tengah kondisi global yang tidak pasti, pemerintah juga tetap membuka peluang penambahan pinjaman luar negeri untuk pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun dalam beberapa tahun terakhir, porsi pinjaman luar negeri untuk pembiayaan defisit APBN semakin diperkecil hingga hanya sekitar 18% pada tahun lalu. Ini artinya, porsi SBN semakin besar.
Perubahan porsi tersebut lantaran SBN dianggap lebih independen dan fleksibel, berbeda dengan pinjaman luar negeri yang biasanya memiliki banyak syarat untuk dipenuhi. Namun, imbal hasil SBN dikendalikan oleh pasar (market driven). Bila imbal hasil tengah tinggi, ini bisa memberatkan pemerintah ketika akan menerbitkan SBN baru.
(Baca: Luhut Bela Jokowi dan Sri Mulyani soal Isu Anti-Islam dan Utang)
Maka itu, pemerintah tetap membuka kemungkinan penambahan porsi pinjaman luar negeri, bila dibutuhkan. “Saat kondisi begini (tidak pasti), kami fungsikan pinjaman sebagai buffer (bantalan) karena kalau market bergejolak, kami pakai pinjaman untuk kebutuhan pembiayaan," kata Luky.