Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah berpendapat nilai tukar rupiah yang kini bertengger di rentang 14.000-14.100 per dolar Amerika Serikat (AS), masih terlalu murah (undervalued). Maka itu, ia memandang masih ada peluang penguatan lebih lanjut.

"Ada ruang penguatan lebih lanjut dan penguatannya lebih baik kalau smooth," kata dia di kantornya, Jakarta, Kamis (10/1). Penguatan bertahap dinilainya lebih baik agar bila terjadi pelemahan, tidak tajam.

Ia pun menjelaskan, ruang penguatan rupiah tergambar dari hasil perhitungan terhadap nilai fundamentalnya. Adapun pada perdagangan di pasar spot Kamis (10/1), nilai tukar rupiah ditutup pada posisi 14,052 per dolar Amerika Serikat (AS) atau menguat 2,35% dalam sepekan.

(Baca: Dana Asing Mengalir Deras ke Saham dan SUN, Rupiah Telah Menguat 2,35%)

Penguatan dipengaruhi oleh meredanya ketidakpastian global. Hal ini seiring dengan turunnya perkiraan jumlah kenaikan bunga acuan bank sentral AS, Fed Fund Rate. Perkiraan ini juga diikuti oleh pasar yang sudah melakukan antisipasi (price in) terhadap kenaikan Fed Fund Rate.

Selain itu, turunnya tensi perang dagang antara AS dan Tiongkok juga memberikan dampak positif terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. "Tapi kami terus waspada, masih ada potensi ketidakpastian," ujarnya.

(Baca: Goldman Sachs Prediksi Kinerja Rupiah Berpotensi Kalahkan Rupee India)

Dari domestik, ia menilai pasar sudah melewati masa pelemahan rupiah hingga Rp 15.000 per dolar AS. Alhasil, pasar telah melewati level psikologis yang cukup tinggi sehingga sudah terbiasa dengan pergerakan rupiah.

Menurut dia, BI akan tetap memberikan ruang penguatan bagi rupiah. Adapun, penguatan rupiah saat ini disebutnya sebagai mekanisme pasar. "Pasar sekarang cukup likuid," ujarnya.