Kebijakan moneter dan fiskal pemerintah Amerika Serikat (AS) memengaruhi perekonomian di banyak negara, termasuk Indonesia sepanjang 2018 lalu. Namun, Bank Indonesia (BI) optimistis tekanan dari eksternal termasuk AS, bakal menurun pada 2019.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, kebijakan stimulus fiskal Presiden Donald Trump kemungkinan tidak berlanjut. Sebab, legislatif dikuasai Partai Demokrat yang merupakan partai oposisi. Adapun stimulus fiskal jadi perdebatan lantaran bakal memperlebar defisit anggaran negara tersebut.
"Permohonan Trump menambah budget untuk pembatasan antara AS dan Meksiko itu (saja) tidak disetujui," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu (2/1). Bila stimulus fiskal tidak berlanjut maka geliat ekonomi AS diperkirakan tidak setinggi sebelumnya.“Diperkirakan 2019 ekonomi AS turun dari 2,5% menjadi 2%," ujarnya.
(Baca juga: BI Isyaratkan Ada Ruang Penguatan Kurs Rupiah Kembali ke Posisi 13.500)
Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi yang melambat bakal memengaruhi kebijakan moneter di Negeri Paman Sam menjadi tidak terlalu agresif sebagaimana tahun lalu. Perry pun menyebut kepercayaan pelaku pasar terhadap ekonomi AS telah menurun, tercermin dari koreksi di bursa sahamnya.
"Terjadi koreksi di harga saham (di AS) yang kemudian memberi dampak terhadap (pasar) keuangan AS," ujar Perry. Adapun kondisi ini bisa menjadi peluang bagi pasar keuangan Indonesia.
(Baca juga: Risiko Volatilitas Tinggi di Pasar Keuangan pada Paruh Pertama 2019)
Di sisi lain, Perry juga melihat peluang positif bagi perdagangan global seiring kemungkinan suksesnya perundingan dagang AS-Tiongkok. “Semakin hari semakin ada tanda titik temu untuk mencari kesepakatan-kesepakatan. Kalau ini terjadi, tentu dampak negatif yang selama ini diperkirakan baik kepada AS maupun Tiongkok tidak seburuk (perkiraan),” ujarnya.
Dengan berbagai kondisi eksternal ini, ia pun memperkirakan tekanan terhadap perekonomian domestik mereda. Nilai tukar rupiah diprediksi bakal lebih stabil dan cenderung menguat di 2019. Sebab, ketidakpastian ekonomi dan keuangan global masih ada, tapi tidak sebesar 2018 lalu.
Depresiasi nilai tukar rupiah diproyeksikan kurang dari 5,9%. Depresiasi ini, menurut dia, lebih rendah ketimbang India, Brazil, Afrika Selatan, Turki, maupun Argentina. Adapun inflasi diperkirakan berada pada rentang 2,5-4,5%.
(Baca juga: Ekonom Prediksi Kurs Rupiah Kembali Tembus 15.000/US$ pada 2019)
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 5-5,4% di 2019. Hal itu ditopang oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang diproyeksi 5,2% dan investasi bisa tumbuh sekitar 7%.
Namun, realisasi impor diperkirakan masih melampaui ekspor. Meski begitu, defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) diperkirakan mengecil dari sekitar 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun lalu menjadi 2,5% terhadap PDB tahun ini.