Ekonom memprediksi defisit transaksi berjalan pada kuartal III lalu mengalami penurunan. Namun, lebih dikarenakan faktor musiman yaitu turunnya impor barang konsumsi lantaran berakhirnya Ramadan dan Lebaran. Di sisi lain, sederet kebijakan pemerintah dalam mengendalikan impor seperti kewajiban pencampuran minyak sawit 20% ke dalam solar (B20) dan kenaikan tarif impor seribuan barang konsumsi diprediksi belum berdampak signifikan.

Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih memprediksi defisit transaksi berjalan pada kuartal III akan menurun dibandingkan kuartal II yang mencapai 3,04% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), namun tidak akan lebih rendah dibandingkan triwulan III 2017 yang sebesar 1,65% terhadap PDB. Penyebabnya, penurunan impor barang konsumsi.

"Impor konsumsi kemungkinan turun, tapi bukan karena B20 dan kenaikan tarif impor barang konsumsi. Ada faktor musiman siklus triwulan III turun," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (9/10). Impor barang konsumsi diprediksi Lana kembali meningkat pada triwulan IV. Peningkatan impor terjadi lantaran adanya perayaan natal dan tahun baru sehingga konsumsi daging, kembang api, hingga permintaan wine oleh sejumlah hotel mengalami peningkatan.

(Baca juga: Risiko Investasi Indonesia Meninggi akibat Defisit Transaksi Berjalan)

Adapun kebijakan B20 dinilai Lana belum mampu banyak menekan impor minyak lantaran belum terlaksana penuh. Ia pun memprediksi impor minyak masih akan tinggi didorong oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Mengacu pada data Bloomberg, minyak brent berada di level US$ 84,87 per barel saat ini, atau naik 27,5% dibandingkan awal Januari lalu.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga memberikan prediksi yang tak jauh berbeda. Defisit transaksi berjalan kemungkinan mengalami penurunan di kuartal III. "Kelihatannya bisa lebih rendah dari triwulan II, sekitar 2,5-3% dari PDB,” kata dia.

Menurut dia, kenaikan tarif impor seribuan barang konsumsi tidak berpengaruh sigifikan terhadap penurunan konsumsi produk ekspor. Sebab, pengenaan tarif tersebut hanya merepresentasikan 5% dari total impor. Terlebih lagi, konsumsi barang mewah diperkirakan tidak menurun meski ada penambahan tarif.

(Baca juga: BI: Kebijakan Menekan Defisit Transaksi Berjalan Menuai Hasil di 2019)

Sementara itu, kebijakan pemerintah lainnya yaitu penundaan proyek strategis nasional (PSN) untuk meredam impor barang kebutuhan kontruksi dinilainya sulit dijalankan secara efektif. Penyebabnya, berbagai PSN yang sudah setengah berjalan sulit ditunda lantaran bunga bank sudah mulai berjalan. Selain itu, berbagai kontraktor juga sudah terikat dalam kontrak sehingga berpotensi menuai kontroversi bila ditunda.

Menurut perhitungannya, defisit transaksi berjalan akan banyak disebabkan oleh defisit perdagangan minyak dan gas (migas) lantaran konsumsi minyak mencapai 1,3-1,4 juta barel per hari. "Sedangkan produksi hanya 700 ribu barel, lalu ada bagian dari kontraktor 200 ribu barel," ujarnya. Di sisi lain, harga minyak tengah dalam tren naik. Maka itu, ia berpendapat pemerintah perlu mewaspadai tekanan dari defisit migas ke depan.

Pada kuartal II lalu, defisit transaksi berjalan tercatat mencapai US$ 8,03 miliar atau mencapai 3,04% terhadap PDB. Penyebabnya, bertambahnya defisit perdagangan migas dan berkurangnya surplus perdagangan nonmigas. Defisit perdagangan migas tercatat mencapai US$ 2,7 miliar. Penyebabnya, kenaikan harga minyak dunia dan tingginya konsumsi.