Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung menguat setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan bakal menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan tambahan Rabu (30/5) ini. Perhelatan ini membuka peluang kenaikan kembali bunga acuan BI 7 Days Repo Rate untuk mengantisipasi kenaikan bertahap bunga acuan AS. Namun, ekonom menduga niai tukar rupiah belum akan menguat signifikan.
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance Bhima Yudhistira memprediksi nilai tukar rupiah akan bertahan di level 13.900-14.000 per dolar AS pada Rabu ini, jika pun bunga acuan kembali dikerek naik. Sebab, pelaku pasar sudah memperhitungkan faktor kenaikan bunga acuan (price in) tersebut dalam menentukan langkah investasinya.
"Jadi meskipun BI akan menaikkan bunga acuan lagi di RDG tambahan, pelaku pasar tidak terlalu surprise," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (30/5). (Baca juga: Gubernur Baru BI Perry Warjiyo Janji Respons Bunga Acuan Lebih Cepat)
Menurut dia, yang sekarang menjadi sorotan utama pelaku pasar adalah sinyal BI mengenai peluang kenaikan bunga acuan sampai akhir tahun, mengingat bank sentral AS kemungkinan bakal mengerek bunga acuannya dua kali lagi tahun ini. Kebijakan bank sentral AS tersebut telah membuat penempatan dana dalam aset ataupun mata uang dolar AS semakin menarik sehingga memicu gejolak di pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bhima menjelaskan, pelaku pasar akan menilai apakah Gubernur BI yang baru akan menepati janjinya yaitu menerapkan kebijakan bunga acuan yang lebih ahead of the curve alias antisipatif. Selain prospek kenaikan bunga acuan, pelaku pasar juga mencermati langkah lain yang disiapkan BI sebagai upaya stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Di sisi lain, ia memperkirakan faktor global bisa jadi penghambat laju penguatan kurs rupiah. Yang terbaru yakni masalah instabilitas politik dan ancaman krisis keuangan di Italia. "Selain Italia, ada Turki dan Argentina yang dikhawatirkan memicu krisis sistemik global," ujarnya.
Negosiasi dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok yang belum menemui titik terang juga berpotensi jadi faktor pemberat penguatan kurs rupiah. Sementara itu, keputusan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) akan berpengaruh ke harga-harga komoditas dan ujungnya juga berdampak pada kurs.
Dengan perkembangan tersebut, Bhima meramalkan nilai tukar rupiah dan mata uang Asia lainnya masih akan bergerak mixed. (Baca juga: Gejolak Kurs Rupiah Diprediksi Bisa Berlangsung Hingga Akhir Tahun)
Senada dengan Bhima, Ekonom yang kini menjabat Project Consultant Asian Development Bank Eric Sugandi melihat peluang penguatan kurs rupiah jika BI kembali mengerek bunga acuan, namun faktor eksternal juga menentukan arah pergerakan rupiah.
Ia menjelaskan, gejolak politik di Italia telah menyebabkan jatuhnya harga obligasi (bonds) Italia. Bahkan, berdampak pada mersotnya indeks harga saham di bursa Eropa. Kondisi ini bakal membuat dolar AS semakin perkasa, sehingga memberi tekanan kepada mata uang dunia lainnya.
"Jadi nanti lihat mana yang lebih kuat pengaruhnya terhadap rupiah: kenaikan BI 7 Days Repo Rate atau berita negatif dari Eropa," katanya.
Sejauh ini, dari hasil pantauannya, berita negatif di Eropa telah mempengaruhi pergerakan indeks saham di bursa Asia. Dengan perkembangan tersebut, ia pun mengkhawatirkan kurs rupiah akan mengalami pelemahan.