Dirut Bank Mandiri Dorong BI Agresif Naikkan Suku Bunga

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Penulis: Muchamad Nafi
23/5/2018, 11.07 WIB

Kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memunculkan respons dari sejumlah lembaga negara. Kamis pekan lalu, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Repo 25 basis poin menjadi 4,5 persen. Kalangan perbankan cukup antusias menyambutnya. Bahkan, ada yang mendorong agar bank sentral lebih aktif lagi.

Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo satu di antara bankir yang menyokong wacana tersebut. Ia menilai pelemahan rupiah, sebagian dipicu oleh meningkatnya imbal hasil (yield) obligasi negara Amerika US Treasury, mesti ditahan dengan instrumen kebijakan moneter ini.  

“Kenaikan suku bunga acuan mestinya lebih agresif,” kata Kartika di sela-sela acara buka puasa bersama para pemimpin media massa di Jakarta, Selasa malam, (22/5/2018). “Tidak harus seketika, bisa secara bertahap.” (Baca juga: Ketidakpastian Global Meningkat, BI Kerek Bunga Acuan 0,25% Jadi 4,5%)

Walau demikian, Kartika tidak mau menyebutkan di level berapa semestinya suku bunga acuan berada. Yang penting, BI perlu memberi sinyal ke pasar bahwa tren suku bunga ke depan mengarah ke sana. Hanya, dia memprediksi bank sentral akan lebih berhati-hati mengingat 2018 dan 2019 merupakan tahun politik.

Pentingnya langkah ini diambil juga mengingat bank sentral Amerika, The Federal Reserve, diperkirakan menaikkan suku bunga Fed Fund Rate lebih dari tiga kali hingga tahun depan. Alhasil, beberapa negara telah merespons dengan langkah serupa. Dampaknya, “Saat ini terjadi perebutan dolar oleh sejumlah negara, terutama di antara negara-negara emerging market,” ujar kartika.

Permintaan dolar di pasar juga meningkat seiring kebutuhan banyak perusahaan multinasional di Indonesia saat ini. Pada Maret-Mei, mereka membagikan dividen dalam mata uang Negara Paman Sam. Hal ini pula yang kemungkinan menekan nilai tukar rupiah. (Baca juga: Dana Asing Keluar, Neraca Pembayaran Kuartal I Defisit US$ 3,9 Miliar).

Walau suku bunga acuan naik, yang akan direspons oleh perbankan dengan menaikkan bunga kredit, Kartika optimistis pertumbuhan penyaluran kredit tidak terganggu. Menurutnya, kenaikan bunga tidak selalu berkorelasi dengan laju kredit. Di sisi lain, tingkat kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) lebih punya dampak. “Kalau NPL naik, kredit turun. NPL turun, kredit naik. Bunga naik-turun tidak selalu berdampak ke kredit,” ujarnya.

Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan tidak ragu untuk kembali menaikkan bunga acuan BI 7 Days Repo jika diperlukan. “Kalau kondisi mengharuskan kembali penyesuaian policy rate, kami tidak ragu untuk lakukan,” kata Agus. (Baca: Negara Maju Masuki Era Bunga Tinggi, BI Siap Kerek Lagi Bunga Acuan).

Bank sentral, dia melanjutkan, akan memonitor perkembangan ekonomi dan siap menempuh langkah-langkah yang lebih kuat guna menjaga stabilitas makro ekonomi di tengah berlanjutnya peningkatan ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global. Hal itu terutama imbas ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate.

Suku bunga acuan Amerika diperkirakan naik dua kali lagi pada tahun ini, yaitu pada Juni dan Desember seiring perbaikan ekonomi di negara tersebut. Sementara pada 2019, Fed Fund Rate diperkirakan kembali mengalami dua kali kenaikan. Saat ini, Fed Fund Rate berada di posisi 1,5 – 1,75 persen.

Ekspektasi kenaikan bunga The Fed telah memicu arus keluar dana asing dari pasar keuangan negara berkembang dan beralih ke penempatan dalam aset maupun mata uang dolar Amerika. Seiring kondisi tersebut, dolar Amerika pun tercatat menguat terhadap mata uang dunia lainnya, termasuk rupiah.

Reporter: Rizky Alika