Dua Rasio Utang Luar Negeri Indonesia Perlu Perbaikan

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
16/3/2018, 20.33 WIB

Utang luar negeri Indonesia terus mengalami kenaikan seiring dengan kebutuhan pembiayaan di dalam negeri. Namun, setidaknya ada dua rasio utang yang memerlukan perbaikan, yaitu rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa, dan rasio utang luar negeri terhadap pos penerimaan dalam transaksi berjalan.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rasio utang luar negeri jangka pendek (pemerintah dan swasta) berdasarkan jangka waktu asal terhadap cadangan devisa kembali naik setahun belakangan. Rasionya sempat mereda ke level 34,88% pada 2016, lalu berangsur naik menjadi 37,63% di akhir 2017. Meski begitu, rasionya masih lebih baik dibandingkan 2013-2014. Ketika itu, rasionya berada di kisaran 40%.

Kenaikan rasio tersebut seiring dengan pertumbuhan tinggi utang luar negeri jangka pendek. Per Januari 2018, jumlahnya mencapai US$ 50,3 miliar atau naik 18,3% secara tahunan (year on year/yoy). Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan Januari 2017 yang sebesar 14,7% (yoy). (Baca juga: Utang Luar Negeri RI Capai Rp 4.900 T, Utang Jangka Pendek Melejit)

Dengan kondisi saat ini, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyatakan perlunya penguatan cadangan devisa untuk menjaga ketahanan ekonomi domestik. Menurut dia, dengan utang luar negeri jangka pendek sebesar US$ 50 miliaran maka cadangan devisa setidaknya harus berada di level US$ 150 miliar.

“Kalau sekarang cadangan devisa sekitar US$ 130 miliar, paling tidak harus US$ 150-200 miliar, ini dengan benchmark di negara-negara lain,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (15/3). (Baca juga: BI Jaga Rupiah, Cadangan Devisa Februari Anjlok Hampir US$ 4 Miliar)

Adapun salah satu cara untuk mempertebal cadangan devisa, yaitu dengan mendorong pendapatan devisa dari ekspor. Maka itu, David mendukung upaya pemerintah menarik investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) untuk pengembangan industri di dalam negeri, apalagi yang berorientasi ekspor.

Di satu sisi, FDI bisa menjadi solusi pendanaan, di luar utang luar negeri. Di sisi lain, dalam jangka panjang, jika FDI mengalir untuk mendanai pengembangan industri yang berorientasi ekspor maka akan menambah cadangan devisa.

“FDI mungkin akan membuat impor bahan baku tinggi di awal, tapi kalau produknya bukan hanya untuk pasar domestik, tapi untuk diekspor, maka ke depan bisa menaikkan devisa,” ucapnya. (Baca juga: Utang Pemerintah Tembus Rp 4.000 T, Ini Risiko yang Perlu Diwaspadai)

Rasio lainnya yang juga perlu perbaikan yaitu rasio utang luar negeri terhadap penerimaan dalam transaksi berjalan (current account receipts). Yang dimaksud dengan current account receipts yaitu pendapatan dari ekspor barang dan jasa. Maka itu, solusi perbaikannya masih terkait dengan peningkatan ekspor.

Rasio ini tercatat masih tinggi yaitu 168%, meskipun sudah mereda dari bulan sebelumnya yaitu 169,2%. Rasio tersebut lebih tinggi dibandingkan data kuartal III 2017 beberapa negara peers seperti Thailand (46,4%), Filipina (61,1%), Malaysia (89%), dan India (89,5%). 

Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengakui perlunya perbaikan rasio ini. Menurut dia, Thailand dan Malaysia bisa memiliki rasio di bawah 100% lantaran besarnya pendapatan ekspor dan wisata. (Baca juga: Rating Kredit Indonesia Naik, BI Waspadai Rasio Beban Utang 170%)

“Kita (perlu) tingkatkan pariwisata dan ekspor supaya rasio utang luar negeri terhadap current account receipts bisa terkelola dengan baik," kata dia. Bila itu berhasil dilakukan, maka profil risiko utang Indonesia akan lebih baik lagi.

Sementara itu, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai utang luar negeri masih dalam kondisi aman. Pergerakan rasio utang luar negeri yang terjadi dianggapnya wajar. “Ini kan dalam proses konsolidasi,” kata dia.

Ia berharap seiring ekonomi global yang membaik, harga komoditas naik, sehingga pendapatan ekspor membaik, demikian juga dengan cadangan devisa. Dengan demikian, rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa, maupun rasio utang luar negeri terhadap penerimaan transaksi berjalan juga membaik.

"Badan rating  (pemeringkat utang) juga sudah lihat, ekspor bakal bagus," kata dia.  

Sebelumnya, pendapatan ekspor sempat anjlok seiring jatuhnya harga komoditas sumber daya alam (SDA) yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Namun, ekspor tercatat telah kembali tumbuh. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2018, ekspor tumbuh 11,76% (yoy) menjadi US$ 14,1 miliar.