Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan tingkat kelahiran manusia yang belum merata di Indonesia bakal menjadi beban pada bonus demografi di masa depan. Padahal, jumlah penduduk usia produktif pada 2045 akan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memanfaatkan potensi ekonomi.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan target tingkat kelahiran nasional sebesar 2,1 pada 2045. Namun tingkat pertumbuhan penduduk bagian timur Indonesia masih tergolong tinggi. Bila mengacu data 2015, rata-rata tingkat kelahiran nasional kala itu 2,28. Namun kelahiran di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat sebesar 2,5.
Padahal, dalam perhitungan Bappenas, tingkat kelahiran di level 2,1 yang bakal memperpanjang bonus demografi penduduk. Karena itu, Bambang mengingatkan bonus demografi yang tidak sesuai hitungan bakal jadi beban, misalnya terjadi pengangguran usia muda di perdesaan. Sebagai acuan yaitu harapan lama sekolah yang hanya 12,72 persen. “Ini jadi masalah. Kami tidak mau bonus demografi jadi beban,” kata Bambang di Jakarta, Rabu (14/02).
Hal ini terkait dengan nilai indeks pembangunan manusia Indonesia yang masih di peringkat 113. Sementara standar Perserikatan Bangsa-bangsa berada di bawah 70. Karenanya, tingkat pendidikan, kesehatan, dan daya beli terus harus diperbaiki.
Menurut Bambang, sensus penduduk yang akan diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) bakal memastikan perencanaan pembangunan kependudukan yang tepat sasaran. Harapannya, target penduduk produktif yang punya daya saing juga tercapai. “Tidak hanya tingkat kelahiran manusia, juga kualitasnya,” ujar Bambang lagi.
Periode bonus demografi sendiri dihitung berdasarkan rasio dukungan ekonomi, yaitu jumlah tenaga kerja produktif yang menopang per 100 orang penduduk. Rasio ini dapat memberikan gambaran lebih efektif mengenai potensi penduduk usia produktif yang tersedia untuk dioptimalkan dalam pembangunan.
Pada 2045, Bappenas memperkirakan penduduk Indonesia mencapai 321 juta jiwa. Dari jumlah itu, Bappenas merancang jumlah penduduk usia produktif sebesar 205,9 juta jiwa. (Baca juga: Bappenas: Angka Kelahiran Perlu Dijaga Agar Indonesia Kaya Lebih Lama).
Bambang juga menekankan bahwa pertumbuhan penduduk yang merata bakal menghidupkan kota-kota kecil di wilayah Indonesia. Selain itu, memicu pembentukan megaurban di antara kota besar, yaitu perluasan kota-kota metropolitan (extended metropolitan region), konsep yang dikembangkan oleh McGee pada pertengahan 1980-an. Migrasi yang tepat pun akan memicu kota maju di daerah timur Indonesia.
“Kami ingin Indonesia di 2045 menjadi negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur. Manusianya unggul, berbudaya, dan menguasai ilmu pengetahuan teknologi karena ekonomi sudah maju dan sustainable,” jelas Bambang.
Selain menjaga tingkat kelahiran yang stabil, pemerintah mesti menstabilkan angka tingkat kematian ibu dan bayi. Targetnya, untuk mencapai jumlah perhitungan penduduk yang tepat pada 2045, angka kematian harus berada di kisaran 3 persen. Tahun 2015, tingkat kematian penduduk masih mencapai 24 persen.
Sisi rawan bonus demografi juga sempat dilontarkan Chatib Basri. Menurut mantan Menteri Keuangan ini, masyarakat Indonesia diprediksi menua atau memasuki era populasi aging dengan kondisi tak kaya. Sebab, Indonesia kurang memanfaatkan bonus demografi yang semestinya menghasilkan masyarakat produktif, satu fase sebelum memasuki era populasi aging tersebut. (Baca juga: Inovasi Teknologi Ancam Bonus Demografi dan Lapangan Kerja).
Dalam hitungan Chatib Basri, Indonesia akan memasuki bonus demografi pada 2045. Ketika itu, ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia. “2045 merupakan hari jadi Indonesia yang ke-100. Indonesia akan menjadi top ten atau top five di dunia, ekonomi terbesar,” kata Chatib di Jakarta, Rabu pekan lalu. Kemudian, pada 2060 Indonesia memasuki era populasi aging. Di tahun tersebut, Indonesia harus memiliki pendapatan per kapita US$ 8.000.
Tetapi Chatib khawatir target pendapatan per kapita ini tidak terwujud dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di 5 persen seperti saat ini. Hal itu yang tidak terjadi di beberapa negara maju seperti Jepang atau bahkan Korea Selatan. “Ketika Jepang dan Korea masuk aging, PDB-nya 30 ribu, income per kapita US$ 4.000. Kalau kita tumbuh 5 persen terus, butuh 28 tahun. Masih ada risiko kita tua tapi tidak kaya.”