BPS Minta Pemerintah Waspadai Dampak Kenaikan Minyak ke Neraca Dagang

KATADATA
Tambang minyak lepas pantai.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yuliawati
15/1/2018, 19.56 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) meningkat dari US$ 59,34 di November menjadi US$ 60,9 per barel di Desember. BPS mengingatkan pemerintah agar mewaspadai kenaikan harga minyak.

"Harus hati-hati harga minyak terus menunjukan kenaikan. Bila bicara prospek ekonomi banyak harapan, tapi kami perlu antisipasi berbagai risiko," kata Kepala BPS Suhariyanto di kantornya, Jakarta, Senin (15/1).

Apalagi sepanjang 2017, neraca perdagangan di sektor minyak dan gas (migas) masih mencatatkan defisit sebesar US$ 8,57 miliar. "Saya kira kami semua berpikir ke sana (harga minyak masih akan naik), karena ICP sudah diatas asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 (US$ 48 per barel)," kata Suhariyanto.

(Baca: Harga Minyak Naik, Pemerintah Belum Kaji Penambahan Subsidi Energi

Sayangnya, ia enggan menyampaikan lebih detail dampak dari kenaikan harga minyak terhadap neraca perdagangan. Namun dia menjelaskan, neraca perdagangan mencatatkan defisit masing-masing US$ 1,67 miliar, US$ 4,08 miliar, dan US$ 2,2 miliar pada 2012 hingga 2014. Pada tahun-tahun tersebut harga minyak tercatat di atas US$ 100 per barel.

"Harga migas akan pengaruhi ekspor dan impor. Tapi surplus 2017 ini bagus selama lima tahun berturut-turut, ada banyak kombinasi yakni perekonomian negara mitra dagang yang menjanjikan, seperti Amerika Serikat (AS), Cina, dan Eropa," kata dia.

(Baca: Harga Minyak Jadi Salah Satu Tantangan Utama Ekonomi Indonesia 2018)