Dewan Gubernur Bank Indonesia akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate pada Kamis (19/10) ini. Beberapa ekonom memprediksi bunga acuan tetap di level 4,25%. Pemotongan bunga acuan lebih lanjut disebut-sebut berisiko menekan nilai tukar rupiah.
Ekonomi SKHA Institut for Global Competitiveness Eric Sugandi mengatakan, jika melihat level inflasi yang terkendali, sebetulnya masih ada ruang untuk memangkas bunga acuan. Tapi, pemangkasan lebih lanjut bisa menekan nilai tukar rupiah karena bakal membuat selisih suku bunga riil di dalam negeri dengan negara maju berkurang.
“(Kondisi ini) bisa mengurangi daya tarik bagi investor portofolio asing untuk masuk ke Indonesia,” kata Eric kepada Katadata, Rabu (18/10). Apalagi, masih banyak faktor ketidakpastian global yang bisa memicu arus keluar modal asing (capital outflow).
Beberapa contoh ketidakpastian global yang dimaksud Eric misalnya terkait kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang akan memangkas pajak di Amerika Serikat (AS). Kebijakan tersebut bisa memperkuat nilai tukar dolar AS terhadap mata uang dunia. Selain itu, kondisi geopolitik di Semenanjung Korea dan Spanyol. (Baca juga: Asing Keluar, Investor Lokal Dukung IHSG Cetak Rekor Baru Lagi)
Menurut dia, dari pada memangkas bunga acuan lagi, lebih baik BI melihat dan menilai dulu dampak dua kali pemangkasan bunga acuan tahun ini terhadap sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. “Saya masih expect (berharap) flat (tetap) tahun depan kalau inflasinya masih terkendali,” ucapnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga memprediksi kebijakan moneter BI netral dengan menahan bunga acuan. Hal itu dengan mempertimbangkan ekspektasi inflasi ke depan yang terjangkar dalam target sasaran. Selain itu, BI juga sudah mengantisipasi kenaikan bunga dana dan penurunan neraca keuangan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Ia meyakini BI juga sudah mempehitungkan kekuatan cadangan devisa bila terjadi arus keluar modal asing. Menurut dia, kondisi first line of defense (pertahanan lapis pertama) yang diukur dari rasio cadangan devisa terhadap uang beredar dalam arti luas (M2), cadangan devisa terhadap impor, cadangan devisa terhadap produk domestik bruto (PDB), dan cadangan devisa terhadap utang jangka pendek menunjukkan bahwa pasar keuangan indonesia memiliki buffer atau bantalan yang dapat menahan arus keluar modal asing.
“Selain itu, BI juga sudah mengantisipasi second line of defense. Dengan demikian, rupiah diperkirakan stabil dengan line of defense (lapis pertahanan) tersebut di tengah pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS,” kata Josua. (Baca juga: Cadangan Devisa Cetak Rekor Tertinggi Nyaris US$ 130 Miliar)
Hal senada juga diungkapkan Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Ia meramalkan bunga acuan tetap untuk mengantisipasi kebijakan moneter bank sentral AS dan Eropa yang cenderung ketat. “Paling tidak sampai akhir tahun tetap,” kata dia.