Utang Pemerintah Bengkak, Ekonom: Tanpa Berutang, Pajak Naik

Arief Kamaludin|KATADATA
17/7/2017, 15.21 WIB

Lonjakan nominal utang pemerintah kerap menjadi sorotan. Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, utang bertambah 1.000 triliunan menjadi Rp 3.672,3 triliun per Mei tahun ini. Namun, ekonom menekankan pemerintah membutuhkan utang untuk pembangunan supaya perekonomian bertumbuh. Jika tak boleh berutang, maka penerimaan pajak harus naik tinggi.

Ekonom dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menjelaskan, sumber pembiayaan belanja negara berasal dari utang dan pajak. “Masyarakat bilang jangan berutang, (berarti) pajak harus naik. Sebab kalau pajak segini-segini saja bagaimana? Apa enggak perlu ada pembangunan? Kalau utang dihujat terus, bagaimana, harus ada solusinya apa,” kata dia kepada Katadata pekan lalu. (Baca juga: DPR dan Pemerintah Sepakat Target Pajak Turun Rp 30 Triliun Tahun Ini)

Meski begitu, Lana mengakui kondisi utang pemerintah saat ini bukan tanpa risiko. “Secara rasio-rasio (utang) mixed,” ucapnya. Ia menyebut rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) aman. Namun, ia melihat ada risiko dari sisi defisit keseimbangan primer dan rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa.

Per Mei lalu, rasio utang terhadap PDB berada di level 28,1 persen. Rasio ini terus menyusut, setidaknya sejak era 1999-2000. Ketika itu rasionya di kisaran 80 persenan. Adapun, batas aman rasio utang di kisaran 30-35 persen. Secara sederhana, ia menjelaskan, dengan rasio utang di batas itu, artinya debitor masih mampu menggunakan pendapatannya untuk kebutuhan lain. “Kalau patokan rasio utang terhadap PDB, ruang pemerintah masih ada 7 persenan,” kata dia.

Di sisi lain, Lana mengatakan yang perlu jadi perhatian adalah defisit keseimbangan primer yang melebar. Keseimbangan primer adalah total penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Bila keseimbangan primer defisit, maka artinya, pemerintah harus menarik utang untuk membayar bunga utang.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah membidik defisit keseimbangan primer menciut bahkan berbalik positif. Semula ia memproyeksi defisitnya bisa turun dari posisi 1 persen terhadap PDB tahun lalu menjadi 0,8 persen terhadap PDB atau 109 triliun tahun ini. Namun, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Negara Perubahan (RAPBNP) 2017, proyeksinya bengkak menjadi Rp 178 triliun.

Tahun AnggaranDefisit Keseimbangan Primer Terhadap PDB
20120,61 persen
20131,03 persen
20140,88 persen
20151,23 persen
20161 persen
2017*0,8 persen
2018*0,4-0,6 persen
2019*0,2-0,3 persen
2020*0,1-0,3 persen
2021*0,1 persen


Lana juga menyoroti rasio utang luar negeri jangka pendek atau yang jatuh tempo kurang dari satu tahun terhadap cadangan devisa. Rasionya berada di kisaran 50 persenan. “Ini artinya, 50 persen dari cadangan devisa terpakai kalau mau untuk (membayar) utang luar negeri jangka pendek. Ini besar,” ujarnya. Per akhir Juni lalu, cadangan devisa berada di posisi US$ 123,09 miliar. 

Namun, ia menekankan, utang tersebut bisa direstrukturisasi sehingga cadangan devisa tetap terjaga. “Ya, gali lubang tutup lubang. Enggak apa-apa itu lazim sekali. Arab yang enggak pernah utang, sekarang utang. Cina juga rasio utang lumayan 40 persenan, tapi dia termasuk negara dengan PDB besar di dunia,” ucapnya. Meski begitu, ia menegaskan, pemerintah juga perlu fokus memperluas basis pajak agar penerimaan negara juga bisa meningkat signifikan. 

Sejalan dengan Lana, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan tanpa kredit atau utang, ekonomi tidak bertumbuh. Namun, menurut dia, yang harus diutamakan adalah menggaet swasta untuk berinvestasi di dalam negeri bukan mengandalkan utang. “Utang harus bayar, kalau investasi, (investor) ikut partisipasi, kalau rugi ya hilang,” ujarnya.  

Adapun kebijakan belanja pemerintah diharapkan fokus untuk mendanai pembangunan infrastruktur yang prioritas. “Jangan ada juga isu-isu proyek mercusuar, pemindahan Ibukota tunggu beberapa tahun lagi. Iya, harus dikaji, karena beban Jakarta sudah terlalu besar. Tapi, lihat yang prioritas,” ucapnya. (Baca juga: Sri Mulyani Revisi APBN 2017, Ekonom Dukung Pelebaran Defisit)

Sebelumnya, di depan anggota DPR, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sempat menjelaskan, posisi utang pemerintah yang masih di bawah 30 persen terhadap PDB tergolong rendah. Rasio utang Amerika Serikat (AS) dan Jepang, misalnya, masing-masing sebesar 108 persen dan 250 persen terhadap PDB pada 2016.

"Kalau rasio utang terhadap PDB tidak boleh naik, ya bangun infrastrukturnya sedikit atau bahkan sangat minim. Kalau mau aman, ya itu, enggak bangun," kata dia, beberapa waktu lalu.

Persoalannya, pembangunan infrastruktur di Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lain. Berdasarkan data Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, kebutuhan pendanaan infrastruktur prioritas mencapai Rp 4.796 triliun.

"Yang paling tertinggal di Indonesia (adalah) infrastruktur. Kalau kita tidak bangun lebih dari orang (negara) lain bangun, kita tidak bisa mendekati mereka. Sepanjang apa yang dilakukan pemerintah dengan ekspansi anggaran, membangun infrastruktur itu tidak membuat rasio utang terhadap PDB melonjak terlalu besar, semestinya (utang) acceptable (bisa diterima)," ujar dia.

Meski begitu, Darmin mengakui pemerintah semestinya bisa berkreasi dalam hal anggaran, yaitu melalui kerja sama dengan swasta. Apalagi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu mendanai 41 persen dari kebutuhan pembiayaan infrastrukrur 2015-2019.

Maka itu, menurut dia, pemerintah tengah fokus mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta untuk turut membiayai pembangunan infrastsuktur. Skema yang tengah dikaji yakni Kerjasama Pemerintah dengan Usaha (KPBU) dan Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA).

Tak hanya itu, dia juga menemukan metode yang memungkinkan investor asing masuk tanpa menggerus perentase kepemilikan investor dalam negeri. Pembangunan Bandara Soekarno Hatta, misalnya, bisa memungut investasi swasta tanpa mendelusi kepemilikan saham dengan skema bagi hasil. Sayangnya, ia mengaku kesulitan membujuk BUMN ataupun swasta untuk melibatkan asing dalam pembangunan infrastruktur.

"Misal, bandara Soekarno Hatta, ada skema, asing masuk tetap saham pemodal Indonesia 100 persen, lalu ada bagi hasil. Tetapi alangkah susahnya meyakinkan yang mengurusi infrastruktur, untuk menarik (investor asing) itu," kata Darmin.