Bank Indonesia (BI) memproyeksi neraca perdagangan bakal mengalami surplus sebesar US$ 1,4 miliar pada Juni lalu. Proyeksi tersebut tiga kali lipat dari surplus bulan sebelumnya yang sebesar US$ 470 juta. Optimisme tersebut seiring dengan kinerja ekspor yang semakin kinclong.

Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo merinci, neraca perdagangan non minyak dan gas (migas) diprediksi surplus US$ 1,9 miliar. Sementara perdagangan migas diperkirakan defisit sekitar US$ 500 juta sampai US$ 600 juta. Dengan demikian, secara keseluruhan surplus US$ 1,4 miliar.

"Data sementara yang kami kumpulkan menunjukkan Juni itu surplus neraca perdagangan akan naik menjadi US$ 1,4 miliar," ujar Perry di Kompleks BI, Jakarta, Jumat (14/7). 

Ia menjelaskan, surplus non migas didukung oleh nilai ekspor sumber daya alam (SDA) yang meningkat seiring berlanjutnya kenaikan harga komoditas. Komoditas yang dimaksud di antaranya batubara, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), nikel, kopi, dan karet.

Selain itu, surplus juga disokong oleh ekspor bahan kimia, alas kaki, kertas, serta mesin dan alat elektronik. (Baca juga: (Baca juga: BI Ramal Ekspor Membaik, Ekonomi Semester II Bisa Tumbuh 5,3 %)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Mei sebesar US$ 474 juta. Angka surplus tersebut merupakan yang terendah dalam setahun belakangan. Penyebabnya adalah lonjakan impor, khususnya impor nonmigas. (Baca juga: Impor Naik, Surplus Neraca Dagang Mei Terendah dalam Setahun)

Secara keseluruhan, nilai impor pada Mei lalu mencapai US$ 13,82 miliar, naik 15,67 persen secara bulanan dan 24,03 persen secara tahunan. Sementara nilai ekspor hanya US$ 14,29 miliar. Angka ini naik 7,62 persen secara bulanan dan 24,08 persen secara tahunan.