Pemerintah menargetkan belanja negara menembus Rp 2.200 triliun tahun depan, meningkat dari tahun ini yang sebesar Rp 2.080 triliun. Meski begitu, defisit anggaran diperkirakan hanya akan berkisar 1,9-2,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau menyusut dari target defisit tahun ini yang sebesar 2,41 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, pemerintah menargetkan belanja negara mencapai Rp 2.204 triliun hingga Rp 2.349 triliun atau 15,1-16 persen terhadap PDB. Rinciannya, alokasi belanja pemerintah pusat ditargetkan sebesar 9,1-10,2 persen dari PDB. Sementara itu, alokasi belanja untuk daerah ditargetkan setidaknya sama dengan alokasi belanja untuk kementerian dan lembaga.
“Transfer daerah sebesar 5,6-5,8 persen dari PDB. Ini sudah lebih besar dari belanja K/L (kementerian dan lembaga) 5,2-6,2 persen. Relatif hampir sama (dengan belanja kementerian dan lembaga) sejak 2016 lalu," kata dia saat Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi Keuangan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/6). Adapun, belanja non kementerian dan lembaga, termasuk subsidi bunga dan yang lainnya ditetapkan sebesar 3,9-4,3 persen dari PDB.
Ia menjelaskan, tahun depan, pemerintah akan kembali fokus mengalirkan anggaran untuk belanja produktif, di antaranya infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan air bersih. Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan belanja pertahanan dan keamanan, termasuk meningkatkan dana cadangan untuk mengantisipasi bencana alam. (Baca juga: Pemerintah Bidik Pembiayaan Investasi Rp 5.000 Triliun di 2018)
Belanja subsidi juga akan ditingkatkan dalam rangka menjaga masyarakat yang miskin dan rentan miskin. Di sisi lain, pemerintah akan terus melanjutkan efisiensi dalam hal belanja barang. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, jenis belanja ini tidak boleh melebihi anggaran pada 2016.
Untuk membiayai belanja tersebut, pemerintah juga berkomitmen untuk menggenjot penerimaan negara khususnya dari perpajakan. Harapannya, defisit keseimbangan primer (penerimaan dikurangi belanja, di luar pembayaran utang) menciut dari target 109 triliun tahun ini menjadi Rp 50 triliun hingga Rp 99 triliun tahun depan atau sekitar 0,4-0,6 persen dari PDB.
Tahun ini, penerimaan negara dari perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.448,9 triliun, terdiri dari pajak dalam negeri Rp 1.464,8 triliun dan internasional Rp 34,1 triliun. Menurut dia, ada beberapa langkah yang akan diterapkan pemerintah untuk mengejar target penerimaan, diantaranya menjaga momentum penerimaan pajak seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Kemudian, mengkaji aturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Berdasarkan kajian Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia, peraturan PPN di Indonesia tergolong paling rumit di dunia lantaran banyaknya pengecualian. Peraturan tersebut juga memiliki banyak kelemahan dari sisi administrasi dan risiko penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Maka itu, Sri Mulyani juga mendorong Komisi Keuangan DPR untuk mempercepat pembahasan Undang-Undang terkait perpajakan, seperti UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), dan PPN.
Selain itu, pemerintah juga berencana menyesuaikan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pemerintah juga berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan pembayaran dan pelaporan pajak melalui penggunaan teknologi dalam jaringan seperti e-filling dan e-voice.
Lebih jauh, Sri Mulyani menambahkan, pemerintah juga akan memanfaatkan data dari kerja sama internasional: pertukaran data secara otomatis terkait pajak atau Automatic Exchange of Information (AEoI) untuk menggali potensi pajak. "Kami akan lakukan pendalaman mengenai potensi pajak dari pertukaran data informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak," tutur dia. (Baca juga: Pasca Rekening Bank Diakses Pajak, Darmin Harap Penerimaan Stabil)
Adapun, dari sisi bea dan cukai, ia memastikan, akan ada perluasan objek barang kena cukai, di antaranya plastik.