Fitch Ratings menaikkan prospek (outlook) peringkat utang Indonesia dari "Stabil" menjadi "Positif". Namun, lembaga pemeringkat internasional ini tetap mempertahankan rating BBB- pada level investment grade atas kredit Indonesia. Kenaikan peringkat Indonesia dianggap terganjal oleh seretnya penerimaan pajak yang turut mempengaruhi perencanaan anggaran negara.
Fitch menilai, faktor kunci yang mendukung perbaikan prospek peringkat Indonesia adalah rekam jejak stabilitas makroekonomi yang dapat dijaga baik oleh pemerintah. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir ini ada tantangan ekonomi global yang cukup berat.
Kebijakan moneter dan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia (BI) juga dinilai efektif meredam gejolak di pasar keuangan. Di sisi lain, dorongan reformasi struktural yang kuat melalui penerbitan paket kebijakan ekonomi sejak September 2015 dipandang mampu memperbaiki iklim investasi secara bertahap. Kebijakan itu diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah.
(Baca juga: Utang Luar Negeri US$ 323,2 miliar, Diprediksi Melambat Sampai 2017)
Fitch menyatakan, perbaikan peringkat dimungkinkan apabila Indonesia mampu meningkatkan ketahanan sektor eksternal, melanjutkan perbaikan iklim investasi dan standar tata kelola, serta menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan pada tingkat lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, perbaikan prospek peringkat oleh Fitch ini menunjukkan optimisme pasar internasional atas peningkatan prospek kinerja ekonomi Indonesia di tengah tantangan domestik maupun global. (Baca juga: Pengusaha Optimistis Ekonomi 2017 Tumbuh 5–5,2 Persen)
Untuk itu, pemerintah perlu menjaga stabilitas makroekonomi dan memperkuat ketahanan ekonomi melalui reformasi strukural. “Selain itu meningkatkan sinergi kebijakan antar-otoritas guna mempercepat transformasi ekonomi,” kata Agus dalam laman resmi BI.
Di sisi lain, Chief Economist Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean menyoroti penerimaan pajak yang rendah menjadi hambatan terbesar bagi kenaikan peringkat kredit Indonesia. Sebab, rata-rata negara yang dinaikkan peringkat kreditnya memiliki rasio pajak (tax ratio) sebesar 14 persen. Sedangkan Indonesia saat ini hanya 11 persen.
(Baca juga: Defisit Penerimaan, Sri Mulyani Minta Ditjen Pajak Capai Target)
“Untuk menaikkan rating itu dilihat cashflow-nya, berapa penerimaan dan pengeluarannya. Negara yang dapatinvestment grade dari Standard and Poor’s (S&P) itu kalau tidak salah tax ratio-nya 14 persen,” katanya di Jakarta, Kamis (22/12).
Adrian menjelaskan, lembaga pemeringkat menilai dua faktor ketika hendak menaikkan rating pinjaman suatu negara. Pertama, struktural atau fundamental ekonominya. Kenaikan prospek kredit Indonesia ini menandakan perekonomian Indonesia yang positif. Kedua, arus kas atau melihat penerimaan negaranya.
“Kelihatannya itu stempel dari Fitch bahwa kebijakan fiskal Indonesia prudent, jadi Surat Utang Negara (SUN) ini diperkirakan tidak akan default (gagal bayar)," kata Adrian. (Baca juga: Tax Amnesty Dongkrak Pelunasan Utang Pajak Rp 36,99 Triliun)
Agar mampu bertahan dengan kondisi ekonomi dan peringkat yang positif ini, ada tiga hal yang harus dijaga pemerintah. Pertama, menaikkan produktivitas. Kedua, momentum pertumbuhan ekonomi yang harus dalam tren kenaikan. Karena itu dibutuhkan stimulus.
Ketiga, inflasi yang harus dijaga rendah. Pada 2017, Adrian memperkirakan inflasi masih akan di kisaran 3,6-3,7 persen. Meskipun ada kenaikan harga yang diatur oleh pemerintah (administered price), seperti tarif dasar listrik (TDL) atau komponen energi lainnya pada tahun depan.