Tekanan Global Naik, BI-Jepang Perpanjang Kerja Sama Swap Rp 22,76 T

Arief Kamaludin|KATADATA
Dolar
13/12/2016, 16.46 WIB

Bank Indonesia (BI) dan Bank of Japan (BoJ) kembali memperpanjang kerja sama Bilateral Swap Arrangement (BSA) senilai US$ 22,76 miliar. Langkah bertujuan untuk memperkuat bantalan likuiditas kedua negara dalam menghadapi tekanan global.  

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, kerja sama ini menunjukkan komitmen kedua otoritas untuk menjaga stabilitas keuangan regional di tengah masih terus berlangsungnya ketidakpastian di pasar keuangan global. "Sebab, BSA ini ditujukan untuk mendukung kebutuhan likuiditas potensial dan aktual melalui penyediaan skema pencegahan dan penanganan krisis," kata Agus dalam siaran pers yang diterima Katadata, Senin (12/12).

Sebagai informasi, BSA ini merupakan kerja sama pertukaran cadangan devisa dolar Amerika Serikat (AS) antara Jepang dengan Indonesia. Tujuannya untuk mengatasi kesulitan likuiditas akibat permasalahan neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek. Kerja sama ini diharapkan bisa mendukung upaya untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan keuangan di kawasan, serta melengkapi jaring pengaman keuangan yang telah ada baik di tingkat regional maupun global.

Selain dengan Jepang, Indonesia juga tergabung dalam Chiang Mai Initiative Multilateralitation (CMIM). CMIM berisikan negara di Asia Tenggara ditambah negara Asia lainnya seperti Jepang, China dan Korea Selatan. Pada awalnya, nilai likuiditas yang disediakan Chiang Mai Initiative hanya US$ 120 miliar. Namun pada 2014 nilainya dinaikkan menjadi US$ 240 miliar.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat, persiapan yang dilakukan oleh BI cukup untuk menghadapi gejolak yang mungkin terjadi ke depan. Secara fundamental ekonomi Indonesia membaik bila dilihat dari defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) dan inflasi.

Di sisi lain, cadangan devisa (cadev) berada di posisi US$ 111,5 miliar atau lebih baik dibanding tahun lalu. Rasio cadev terhadap Utang Luar Negeri (ULN) jangka pendek juga menurun. Ini berarti cadev lebih kuat untuk mengantisipasi bila ada kebutuhan valas yang berlebih. (Baca juga: Terpukul Efek Trump, Cadangan Devisa Susut US$ 3,5 Miliar)

David meramalkan, cadev akan meningkat paling sedikit US$ 3,5 miliar pada Desember. Kenaikan tersebut didapat dari aliran masuk dana repatriasi program pengampunan pajak (tax amnesty) sebesar Rp 100 triliunan pada Kuartal IV ini. Selain itu, cadev juga disokong penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) valuta asing (valas) senilai US$ 3,5 miliar. (Baca juga: Pemerintah Jual Obligasi US$ 3,5 Miliar untuk Belanja Awal 2017)

"Primary buffer (cadev) relatif lebih baik. Impor cenderung turun jadi lebih baik dari tahun lalu. ULN juga turun, kan harus dilihat rasionya terhadap ULN jangka pendek, itu turun," ujar David kepada Katadata, Selasa (13/12).

Adanya kerja sama swap dengan negara lain juga turut memperkuat kemampuan Indonesia dalam menjaga gejolak ke depan. Komitmen dalam kerja sama tersebut bisa menjadi bantalan untuk menghadapi kondisi tekanan likuiditas yang lebih besar.

Selain dengan Jepang dan Chiang Mai Initiative, Indonesia juga menjalin kerja sama Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dengan Cina dan Korea Selatan masing-masing US$ 20 miliar dan US$ 10 miliar. “BSA, BCSA, dan multilateral lewat Chiang Mai Intiative itu jadi buffer," kata David. (Baca juga: Ukur Rupiah, Jokowi Minta Yuan Dijadikan Alternatif Dolar)

Sekadar informasi, BCSA merupakan kerja sama swap dalam mata uang lokal untuk mendukung perdagangan dan investasi antara kedua negara dan tujuan lain yang disepakati kedua belah pihak.