Risiko Pasar Meningkat, BI Diprediksi Tahan Bunga Acuan

Arief Kamaludin|KATADATA
16/11/2016, 21.00 WIB

Kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang agresif tampaknya akan berakhir. Ekonom memperkirakan, bank sentral akan mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate di level 4,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang berakhir Kamis (17/11) ini. Alasannya, tekanan pasar dan perekonomian global semakin meningkat.

Selain mempertahankan suku bunga acuan, BI diprediksi tidak akan mengubah suku bunga simpanan (deposit facility) dan pinjaman (lending facility), yang besarannya masing-masing 4 persen dan 5,5 persen.

Ekonom Maybank Juniman mengatakan, ada tiga faktor yang mendorong BI menahan suku bunga acuan. Pertama, meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global imbas terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).

Kedua, nilai real interest rate yang sebesar 1,44 persen saat ini sudah lebih rendah dibandingkan credit default swap (CDS) Indonesia bertenor lima tahun sebesar 1,9 persen. Sebagai informasi, real interest rate atau suku bunga riil adalah nilai yang dipakai investor untuk mengukur keuntungan. Real interest rate didapat dari selisih BI 7-Day Repo Rate dengan inflasi saat ini.

Sedangkan CDS merupakan alat ukur risiko investasi. Semakin rendah nilainya, maka risikonya semakin kecil. Dengan risiko yang lebih besar daripada return dapat membuat investor asing kurang tertarik berinvestasi di Indonesia. (Baca juga: ASEAN Siapkan Penyangga Ekonomi Hadapi Guncangan Efek Trump)

"Kalau BI menurunkan BI 7-Day makin tidak menarik lagi," kata Juniman kepada Katadata, Rabu (16/11). Hal itu berpotensi mengancam pasar obiligasi dan saham di dalam negeri seiring hengkangnya dana investor asing ke luar negeri (capital outflow). 

Ketiga, BI juga mempertimbangkan ancaman keluarnya dana asing lantaran kemungkinan bank sentral AS, The Federal Reserve, menaikan suku bunga dananya (Fed Fund Rate) pada Desember nanti. Kenaikan Fed Fund Rate sangat dimungkinkan mengingat karakter kepemimpinan Partai Republik adalah ekspansi fiskal besar-besaran.

Artinya, pemerintah AS bakal menerbitkan surat utang untuk memenuhi tambahan pembiayaan dari masyarakat. Alhasil, imbal hasil (yield) surat utang kemungkinan bakal ditingkatkan.

“Meski BI beberapa kali mention (menyebut) masih ada ruang (penurunan). Dengan kondisi seperti ini, bukan hanya terbatas, (ruang pelonggaran moneter) bahkan bisa hilang,” kata Juniman. (Baca juga: Meski Bunga Rendah, Pengusaha Tak Minat Berutang ke Bank)

Ekonom Kenta Institute Erick Sugandi juga berpandangan BI 7-Day Repo Rate bakal tetap di posisi 4,75 persen. Menurut dia, penurunan suku bunga sangat tidak memungkinkan mengingat rupiah mengalami tekanan.

Jika dibiarkan, gejolak rupiah ini akan mengerek inflasi karena harga produk impor jadi meningkat. Jika begitu, tentu akan berujung pada penurunan daya beli masyarakat. "Saya pikir berisiko terhadap rupiah. Lebih baik cut (pemotongan suku bunga acuan) tahun depan ketika situasi eksternal lebih kondusif," kata Erick.

Hal senada diungkapkan Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Gundy Cahyadi. Meski inflasi dan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) masih pada posisi yang rendah, tekanan terhadap rupiah saat ini cukup besar. Sementara, Indonesia masih sangat membutuhkan investasi untuk membiayai defisit transaksi berjalan.

"Investasi langsung asing bersih juga telah jatuh ke sekitar 1,2 persen dari PDB. Ini berarti defisit masih harus dibiayai portofolio," kata Gundy. (Baca juga: Investasi Asing Kerek Neraca Pembayaran Surplus US$ 5,7 Miliar)

Atas dasar itu, ia meyakini BI masih akan menahan suku bunga acuan di level 4,75 persen. Sebab, seperti dijelaskan Juniman, kalau BI menurunkan suku bunga acuan maka investasi di Indonesia jadi semakin tak menarik.