Bank Dunia menganggap, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ekspor komoditas mentah untuk mendorong perekonomian. Sebab, harga komoditas yang masih rendah saat ini, diperkirakan belum dapat segera meningkat.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Sudhir Shetty menyarankan agar Indonesia segera melakukan diversifikasi industri. "Karena apabila kita bicara harga seperti Crude Palm Oil (minyak sawit mentah) atau karet, harganya belum terlihat akan kembali (naik) dengan drastis," katanya melalui video teleconference dalam acara "The East Asia and Pacific Update" di Jakarta, Rabu (5/10).
Bank Dunia mencatat, anjloknya harga komoditas telah memukul perekonomian sejumlah negara berkembang. Ekonomi Mongolia diproyeksikan cuma tumbuh sekitar 0,1 persen tahun ini atau turun dari 2,3 persen pada 2015. Penyebab utamanya adalah pelemahan ekspor mineral dan pengendalian utang.
Sedangkan ekonomi Papua Nugini juga diproyeksi cuma tumbuh 2,4 persen tahun ini, atau turun drastis dibanding tahun lalu yang sebesar 6,8 persen. Penurunan tersebut disebabkan jatuhnya harga dan produksi tembaga serta gas alam cair (LNG) negara itu. (Baca juga: Genjot Ekonomi, Pemerintah Didorong Perlebar Defisit Anggaran)
Menurut Shetty, kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan terletak pada penerimaan negara dan investasi. Jika kedua hal ini bisa dioptimalkan, ia yakin ekonomi bisa terus naik dari 4,8 persen pada 2015 menjadi 5,5 persen pada 2018.
Rinciannya, ekonomi tumbuh 5,1 persen pada tahun ini, lalu meningkat menjadi 5,3 persen pada 2017. Setahun berselang, ekonomi terus naik sehingga tumbuh 5,5 persen. Proyeksi tersebut tidak berubah dengan ramalan Bank Dunia pada Maret lalu.
Jika dibandingkan, proyeksi positif Bank Dunia itu berkebalikan dengan Asian Development Bank (ADB). Akhir September lalu, Bank Pembangunan Asia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesiai menjadi 5 persen, dari perkiraan sebelumnya pada Maret lalu sebesar 5,2 persen. (Baca juga: ADB Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi 5 Persen)
Selain itu, ADB menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan dari 5,5 persen menjadi 5,1 persen. Pertimbangannya, kebijakan pemangkasan anggaran belanja pemerintah akan mengerem laju perekonomian.
Proyeksi Bank Dunia sebetulnya juga mempertimbangkan pemangkasan anggaran belanja pemerintah. Namun, lembaga dunia tersebut berharap pemangkasan anggaran tidak menyentuh proyek-proyek strategis terkait infrastruktur, sehingga ekonomi bisa tetap melaju.
Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Hans Anand Beck menekankan, pembangunan infrastruktur juga merupakan kunci dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Ini poin paling kritisnya apabila pemerintah dapat menjaga ini (pembangunan infrastruktur)," kata Beck.
(Baca juga: Bank Dunia: Indonesia Turut Dorong Penurunan Kemiskinan Dunia)
Pada kesempatan yang sama, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Victoria Kwakwa meramal, perlambatan ekonomi di wilayah Asia Pasifik akan terus berlanjut. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi Cina yang diprediksi melambat dari 6,7 persen pada 2016 menjadi 6,5 persen pada 2017, dan 6,3 persen pada 2018.
Pertumbuhan ekonomi Malaysia diproyeksi bakal anjlok dari 5 persen pada 2015 menjadi 4,2 persen tahun ini. Demikian juga Mongolia dan Papua Nugini. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Kamboja, Laos dan Myanmar diramal tetap kuat. Pertumbuhan kuat juga terlihat di Filipina dengan proyeksi mencapai 6,4 persen tahun ini.
"Tantangan pertumbuhan ekonomi Asia adalah mengurangi kesenjangan penghasilan, memperbaiki infrastruktur, serta mengurangi kekurangan gizi pada anak," kata Kwakwa.