Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan sistem keuangan saat ini pada kondisi yang stabil seiring dengan permodalan dan likuiditas yang membaik. Industri perbankan masih bisa menyerap risiko baik kredit, pasar, atau pun likuiditas.
Hal itu bisa dilihat dari rasio kecukupan modal, Capital Adequacy Ratio (CAR), sebesar 21,8 persen. Meskipun, kata Agus, rasio kredit bermasalah, Non Performing Loan (NPL) berada di posisi 2,8 persen. (Baca: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2016 Meleset di Bawah Target).
Sementara itu, kondisi Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) juga menunjukkan kemampuan bertahan dengan baik, walau risiko dari rasio pembiayaan bermasalah, Non Performing Financing (NPF), meningkat. Tetapi, menurut Agus, hal ini sejalan dengan besarnya hambatan yang dihadapi pasar keuangan, terutama karena turunnya pembiayaan di pasar surat utang atau obligasi.
Sayangnya, pertumbuhan penyaluran kredit ke rumah tangga dan korporasi menunjukan perlambatan seiring ekonomi yang melemah. Meski stabilitas sistem keuangan dalam kondisi positif, Agus mengakui NPL cenderung meningkat baik di sisi perbankan ataupun IKNB. (Baca: Bank Dunia: Pertumbuhan Indonesia Tergantung Paket Ekonomi)
Sementara itu, penjualan korporasi juga menurun yang berdampak pada berkurangnya pendapatan. Dalam jangka menengah, hal ini memicu penurunan kinerja korporasi nonkeuangan untuk membayar kewajibannya, selajur dengan naiknya debt to service coverage ratio (DSCR). DSCR merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan memenuhi beban tetapnya, termasuk angsuran pokok.
Hal ini kemudian membawa dampak rambatan kepada kinerja pemerintah khususnya terhadap pajak,” kata Agus dalam peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Nomor 26 di Gedung BI, Jakarta, Senin, 30 Mei 2016.
Karena itu, bank sentral berencana melonggarkan kebijakan makropudensial. Misalnya, melalui penyesuaian aturan rasio kredit terhadap nilai agunan, loan to value (LTV); rasio pinjaman terhadap pendanaan, Loan to Funding Ratio (LFR), serta rasio kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah. (Baca juga: Ekonomi Global Melambat, 30 Proyek Infrastruktur Jadi Andalan).
Sementara itu, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan berbagai tantangan menurut tersebut menunjukan pentingnya peran makroprudensial untuk mengatasi risiko sistemik, baik yang timbul imbas perlambatan ekonomi global atau masalah fundamental perekonomian domestik. “Ruang pelonggaran moneter masih terbuka seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi,” tutur Erwin.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menyatakan stabilitas sistem keuangan ini memang tak mampu menjaga ketahanan fiskal. Meskipun kondisinya stabil, tetapi permintaan kredit dari masyarakat dan korporasi menurun. (Lihat pula: Indonesia Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Asia).
Bahkan, industri cenderung membayar Utang Luar Negeri jangka pendek ketimbang ekspansi. Artinya, minat industri untuk pengambangan dan keinginan masyarakat untuk konsumsi juga belum membaik. “Turunnya inflasi jangan dikira itu karena kebijakan BI, itu karena permintaan yang turun. Tetapi langkah BI melonggarkan LTV itu sah-sah saja,” ujar Anton. “Cuma menurut saya harus diikuti dengan kebijakan dari pemerintah juga.”