Perekonomian Indonesia yang sudah meningkat dan kini menyandang status negara berpendapatan menengah (middle income countries), ternyata bisa mengurangi peluang mendapatkan bantuan dari luar negeri. Uni Eropa berencana menghentikan bantuan hibah kepada Indonesia, sehingga bisa dialihkan ke negara lain yang kondisinya di bawah Indonesia.
Ke depan, menurut Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wismana Adi Suryabrata, bantuan akan datang dalam bentuk kemitraan Indonesia dengan Uni Eropa. “Jadi bukan sekadar penerima tapi dengan kemitraan kita juga memberi sesuatu,” katanya seusai acara laporan kerjasama pembangunan Blue Book 2016 oleh Uni Eropa di Jakarta, Rabu (11/5).
(Baca: Sofyan Djalil: APBN Belum Efektif dan Efisien)
Saat ini, Bappenas mencatat total hibah yang masih aktif saat ini mencapai € 372,2 juta atau setara dengan Rp 5,6 triliun. Pinjaman tersebut terbagi dalam tujuh program yang tersebar di enam Kementerian dan Lembaga (K/L). Yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Mahkamah Agung (MA).
Setelah dana hibah habis, program yang tengah berjalan tersebut akan dilanjutkan dengan menggunakan anggaran pemerintah sendiri. “Karena hibah ini dasarnya untuk membuat praktik kita yang bagus. Jadi kita belajar dari negara-negara Eropa seperti apa,” kata Wismana.
(Baca: Defisit Melebar, Pemerintah Hendak Tambah Utang Rp 27 Triliun)
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend mengatakan, salah satu hibah yang telah diberikan adalah program reformasi peradilan di Indonesia yang diarahkan kepada MA. Salah satunya dengan memberikan hibah sebesar € 9,7 juta atau setara dengan Rp 146 miliar. “Ini untuk meningkatkan integritas pelayanan peradilan dan juga peningkatan akuntabilitas layanan peradilan,” katanya.
(Baca: Hibah dari Negara Asing Jadi Opsi Sumber Dana Ketahanan Energi)
Program ini telah dimulai sejak 2014 dan akan berakhir pada tahun 2019 mendatang. Guerend menjelaskan, reformasi peradilan berkaitan erat dengan tata kelola pemerintahan yang baik, utamanya dengan institusi publik agar dapat menjalankan peranannya untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), memprioritaskan penegakkan hukum, dan juga mengurangi tindak pidana korupsi.
“Karena Uni eropa memiliki inisiatif untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Guerend.