Sejarah dan Seluk Beluk Tax Havens

Katadata
11/4/2016, 10.15 WIB

Panama Papers yang baru-baru ini muncul telah menimbulkan kehebohan. Jutaan dokumen yang bocor itu menampilkan informasi para klien firma hukum Mossack Fonseca di Panama. Mereka memiliki berbagai tujuan, mulai dari bisnis, penyamaran kepemilikan, hingga penghindaran pajak.

Istilah tax havens sering pula disebut sebagai tax heaven atau surga pajak. "Tax havens sebenarnya lebih tepat diterjemahkan suaka pajak, karena merupakan perlindungan dari pengenaan pajak," kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kepada Katadata, Minggu, 10 April 2016.

Sebelumnya, organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) merilis dokumen bertajuk Panama Papers secara serentak di seluruh dunia mulai Senin awal pekan lalu. Data yang bersumber dari bocoran data Mossack Fonseca ini menyangkut 11,5 juta dokumen daftar klien Fonseca dari berbagai negara, termasuk Indonesia, yang diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak di negara masing-masing.

Sejumlah nama politisi, bintang olahraga, dan selebriti yang menyimpan uang mereka di berbagai perusahaan cangkang di luar negeri tercatat dalam dokumen tersebut. Tercatat, dokumen Panama Papers masuk dalam file sebesar 2,6 terabyte (TB). Perinciannya, ada 4,8 juta e-mail, 3 juta database, 2,1 juta dokumen PDF, 1,1 juta foto, 320 ribu dokumen teks, dan 2.000-an file lainnya.

Menurutnya, terminologi tax havens dekat dengan istilah yang dipakai Prancis, yaitu paradis fiscaux. Spanyol menyebutnya sebagai paradisos fiscales. Sementara itu, Italia mengenal rifugio fiscale dan Jerman memakai istilah Stuerhafens. Semua istilah tersebut menandakan sesuatu yang nikmat dan menyenangkan.

Tax havens secara umum diartikan sebagai negara atau wilayah yang menegakan pajak rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali. Negara atau wilayah tersebut sekaligus menyediakan tempat yang aman bagi simpanan untuk menarik masuknya modal. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebut ada tiga ciri tax havens.

Petama, menerapkan tarif pajak rendah atau bebas pajak. Kedua, lack of transparancy. Ketiga, lack of effective exchange of information. Yustinus menjelaskan, dengan demikian, tidak semua yurisdiksi dengan tarif pajak rendah merupakan tax havens karena bersedia bekerjasama dalam pertukaran informasi. (Grafik: Beda Panama Papers Dan Offshore Leaks).

Dia juga menuturkan sejarah tax havens. Tax havens muncul seiring meningkatnya tarif pajak. Majalah The Times menyebut istilah tersebut pertama kali pada 17 Mei 1984. Ketika itu, banyak wajib pajak di Inggris yang memindahkan kekayaan mereka untuk menghindari pajak. Setelah Perang Dunia Pertama terjadi, negara-negara menaikkan tarif pajak untuk mendongkrak pendapatan negara seiring tingginya kebutuhan biaya setelah perekonomian hancur akibat perang.

Panama Papers vs Offshore Leak (Katadata)

Tarif pajak bahkan mencapai 72 persen pada 1924. Sejak saat itu, tax havens lahir dan tiga kota, yaitu Swiss-Jenewa, Zurich, dan Basel menjadi pusat penghindaran pajak yang aman. Pada 1930-an, semakin agresifnya pemungutan pajak mendorong lahirnya tax havens baru. Ketika Roosevelt berkuasa, para pengusaha di Amerika Serikat memilih Bahama untuk menyembunyikan penghasilan mereka. Kemudian pada 1960, Cayman Island menjadi tax havens baru, dengan dukungan perbankan Kanada.

Di tahun 1971, The Rolling Stones meninggalkan Inggris lantaran beban pajak yang terlalu tinggi. Kepindahan mereka ke Amerika Serikat juga diikuti banyak nama-nama profesional. Pada saat yang sama, Panama juga lahir sebagai tax havens, sebagai penyimpanan dana pengusaha Amerika Serikat dan Amerika Tengah, terutama Kuba.

Halaman: