KATADATA - Bila dibandingkan dengan awal tahun lalu (yoy), utang luar negeri Januari 2016 memang masih tumbuh 2,2 persen menjadi US$ 308 miliar. Jumlah pinjaman ini setara dengan Rp 4.004 triliun dengan estimasi kurs 13.000 per dolar Amerika. Namun, pertumbuhan itu melambat bila disandingkan dengan utang pada Desember 2015 yang mencapai US$ 310 miliar.
Bank Indonesia menyatakan perlambatan utang terutama didorong oleh menurunnya utang sektor publik dan swasta. Utang sektor publik tumbuh melambat menjadi 5,7 persen secara tahunan dari sebelumnya pada Desember 2015 sebesar 10,2 persen (yoy). Sementara itu, utang swasta turun -0,7 persen setelah pada Desember 2015 tumbuh sebesar 2,2 persen. Alhasil, utang kedua sektor ini masing-masing US$ 143,4 miliar dan US$ 164,6 miliar. (Baca: Utang Luar Negeri dan Dana Hasil Ekspor Kerek Cadangan Devisa).
Atas pergerakan kondisi ini, bank sentral memandang utang luar negeri Januari 2016 masih sehat. Namun tetap harus mewaspadai resikonya terhadap perekonomian, khususnya utang sektor swasta. Para ekonom Bank Mandiri menilai, hal ini untuk memberikan keyakinan bahwa utang luar negeri dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang mempengaruhi stabilitas makroekonomi.
Menurut mereka, sektor konsumsi dan investasi masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. “Sejalan dengan itu, tim ekonomi Bank Mandiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini akan mencapai lima persen, lebih baik dibanding tahun 2015 sebesar 4,7 persen,” demikain mereka merilis penilaiannya pada Senin, 21 Maret 2016.
Sementara itu, ekonom Bank Central Asia David Sumual memperkirakan belum bergeraknya industri dalam negeri menjadi salah satu pemicu penurunan utang luar negeri. Sektor rill baru akan berani ekspansi pada kuartal kedua 2016. (Baca juga: Gubernur BI: Utang Luar Negeri Naik karena Ekonomi Menggeliat).
Menurut David, utang luar negeri swasta tahun lalu cukup tinggi dipicu oleh sejumlah sektor komoditas terutama yang berorientasi ekspor. Di sisi lain, utang mereka di dalam negeri relatif kecil. Kini, ketika harga komoditas jatuh, industri pun lesu, walaupun pada Februari-Maret ini harganya mulai naik. “Belum mendorong minat perusahaan. Jadi masih ada over suply di pasar. Walau harga naik, tingkat persediaan barang masih tinggi, mereka belum mau ekspansi,” kata David kepada Katadata, Jumat, 18 Maret 2016.
Secara total, sebesar 76,2 persen dari utang swasta terfokus pada empat sektor, yakni keuangan, industri pengolahan, listrik, gas dan air, serta pertambangan. Meski nilainya besar, namun utang sektor pertambangan mengalami kontraksi paling dalam. Pertumbuhan utang jangka panjang juga melambat menjadi hanya tumbuh 4,8 persen (yoy). Sedangkan utang jangka pendek menurun 12,7 persen.
Di sisi lain, David menilai utang pemerintah saat ini cukup positif. Kenaikkan pinjaman US$ 400 juta digunakan untuk membangun infrastruktur. Hal ini berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi kuartal pertama yang diperkirakan tumbuh lebih dari lima persen. Dampak dari pembangunan infrastruktur ini ke investasi swasta akan terasa pada kuartal kedua. Jika belanja infrastruktur terus berlanjut, diiringi dengan peningkatan daya beli dan investasi swasta, David yakin ekonomi bisa tumbuh lebih baik. (Lihat pula: Bangun Infrastruktur, Pemerintah Percepat Utang Rp 63 Triliun).
Senada dengannya, Deputi Statsitik, Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik Sasmito Hadi Wibowo juga meyakini dampak belanja infrastruktur pemerintah terhadap swasta akan terasa di triwulan kedua. Sebab, pembangunan proyek infrastruktur baru berjalan pada periode tersebut. “Kecuali untuk yang berdampak ke konsumsi, seperti makanan dan pakaian, itu bisa langsung,” ujar dia.