KATADATA - Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memperkirakan perekonomian Indonesia bisa tumbuh lima persen pada tahun ini. Pencapaian pertumbuhan itu di tengah tren perlambatan ekonomi global dan masih rendahnya harga komoditas. Namun, tantangan terbesar untuk meraih pertumbuhan ekonomi itu adalah perkiraan seretnya penerimaan negara tahun ini.

Pangkal soalnya adalah tren perlambatan ekonomi Cina yang sudah berlangsung sejak tahun lalu. Kepala Misi IMF untuk Indonesia Luis E. Breuer mengatakan, perlambatan ekonomi Cina menyebabkan permintaan terhadap barang-barang komoditas akan menurun. Hal ini akan semakin menekan harga komoditas. “Ini akan mempengaruhi Indonesia,” katanya dalam acara teleconference IMF di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Selasa (15/4). Padahal, komoditas selama ini menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia untuk mendukung penerimaan negara.

Di dalam negeri, perlambatan ekonomi yang sudah terjadi sejak tahun lalu dapat mengurangi potensi penerimaan dari sisi pajak. Alhasil, IMF memperkirakan defisit anggaran bisa semakin melebar jika tidak ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Apalagi, penurunan harga minyak juga mengurangi potensi penerimaan negara.

Karena itu, IMF menyambut baik langkah pemerintah untuk merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Revisi itu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penerimaan yang lebih rendah. “Kami harap kepatuhan berkelanjutan terhadap aturan fiskal,” ujar Breuer.

(Baca: Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia)

Pemerintah memang berencana merevisi APBN 2016 pada pertengahan tahun ini. Pasalnya, penerimaan dari sektor migas terancam seret di tengah rendahnya harga minyak dunia. Selain itu, target penerimaan dianggap sulit tercapai. Target penerimaan pajak dalam APBN 2016 sebesar Rp 1.368 triliun atau lebih tinggi 29 persen dari realisasi penerimaan pajak tahun lalu yang sebesar Rp 1.060,8 triliun.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan akan merevisi target penerimaan pajak dengan memperhatikan pertumbuhan alamiah. Yaitu pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi dan dikalikan dengan penerimaan pajak 2015. “Pertumbuhan ekonomi kami asumsikan 5,3 persen dan inflasi 4,7 persen berarti pertumbuhan alamiah sekitar 10 persen,” kata Bambang, Januari lalu. Dengan menggunakan rumus tersebut, target penerimaan pajak tahun ini yang diajukan Kementerian Keuangan minimal Rp 1.166,67 triliun.

(Baca: Pemerintah Siapkan Skenario Revisi APBN Tanpa Tax Amnesty)

Namun, pemerintah masih menunggu kepastian jadi-tidaknya pemberlakuan Undang-Undang Pengampunan Pajak alias tax amnesty. Pasalnya, berdasarkan perhitungan tahun lalu, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dari kebijakan tersebut sebesar Rp 60 triliun. Namun, pemberlakuan kebijakan itu masih terganjal lantaran Dewan Perwakilan Rakyat mengulur-ulur waktu pembahasan RUU Tax Amnesty.

Breuer mengatakan, rencana pemerintah mengejar penerimaan pajak di luar negeri bisa membantu meningkatkan pendapatan. Dia pun berharap, kebijakan pengampunan pajak tersebut bisa disetujui oleh parlemen dalam waktu dekat. Selain itu, perluasan basis pajak juga langkah lain yang bisa dilakukan.

(Baca: Hadapi Tiga Masalah Besar, IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Dunia)

Di sisi lain, dia mengatakan, aktivitas investasi oleh pemerintah akan mempercepat pemulihan ekonomi di Indonesia. Indikasi pemulihan fundamental ekonomi juga bisa dilihat dari rendahnya angka inflasi dan menciutnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). IMF juga mengapresiasi langkah pemerintah melanjutkan kebijakan struktural dengan mengurangi subsidi energi dan menggunakan anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Dari sisi investasi, IMF mencatat arus modal masuk (capital inflow) ke Indonesia lebih baik dibanding negara lain sejak awal tahun ini. Namun, perlu diwaspadai pula tingkat utang jangka pendek yang rentan terhadap turbulensi sistem keuangan global. Untuk itu, menurut Breuer, beleid pencegahan dan penanganan krisis perlu segera diberlakukan.

Reporter: Desy Setyowati