SBY: Pemerintah Tak Perlu Incar Pertumbuhan di Atas Enam Persen

Abror | www.presidenri.go.id
3/3/2016, 18.19 WIB

KATADATA – Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyarankan pemerintah tidak perlu mengincar target pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat ini. Presiden Keenam Republik Indonesia ini mengatakan lebih baik pemerintah menargetken pertumbuhan di angka lima hingga enam persen.

"Pertumbuhan di atas 6 persen hanya memberikan angin surga ," kata SBY saat berkunjung ke kantor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Kamis (3/3). (Baca: Pemerintah Siapkan Skenario Revisi APBN Tanpa Tax Amnesty)

Dia mengatakan untuk mencapai pertumbuhan enam persen, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang besar sebagai pendorong utama. Anggaran ini dibutuhkan untuk meningkatkan belanja modal. Masalahnya, sulit untuk mengalokasikan anggaran tersebut karena keterbatasan dana. Selama ini target penerimaan pajak selalu meleset. Sehingga porsi belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak cukup.

Hingga saat ini SBY mengaku masih sering bertemu dan berbincang dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia menyarankan kepada JK agar di tengah keterbatasan belanja modal ini, pemerintah tidak perlu menjanjikan banyak program. Jangan sampai terjadi kekurangan pajak dengan adanya janji-janji yang membuat APBN semakin membengkak.

Lebih lanjut, SBY mengkritik ekonom yang menyarankan pengetatan anggaran besar-besaran saat ini. Sebagai alternatif, dia menawarkan strategi keep buying yang pernah dijalankan pada masa kepemimpinannya. Strategi ini berupa skema pemberian uang tunai kepada masyarakat yang memerlukan. Tujuannya, agar daya beli masyarakat tetap terjaga, sekaligus mempertahankan operasional industri dan mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Meski perekonomian sedang lesu, dia berharap pemerintah bisa memastikan rakyat mampu membeli barang dan jasa. Dengan demikian, tidak terjadi kebangkrutan di sektor riil. Jika kebangkrutan dan PHK dapat dihindari, penerimaan pajak pun terjaga, menurut SBY. Ia tidak mempermasalahkan kondisi fiskal yang tidak bagus, asal masyarakat masih memiliki daya beli.

"Neoliberalisme memang tidak akan suka cara ini, lebih memilih menyerahkan kepada mekanisme pasar. (Tapi) menurut saya, tidak begitu," ujarnya. (Baca: Jokowi: Rencana Kerja 2017 Harus Berubah Total)

Dia pun menyarankan pemerintah menentukan kepantasan untuk nilai tukar rupiah saat ini. Meski sudah turun ke kisaran Rp 13.200, kurs tersebut dinilainya masih tinggi. Untuk kondisi semacam ini, SBY menceritakan pengalaman pemerintah pada masanya yang menjalin kerjasama swap currency atau perjanjian jual beli valuta asing dengan sejumlah negara. Jadi, ketika kondisi ekonomi semakin memburuk, Indonesia masih memiliki pertahanan kedua.

Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi tahun lalu hanya 4,79 persen, lebih rendah dibandingkan 2014 yang mencapai 5,02 persen. Konsumsi rumah tangga menjadi sumber utama pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini juga melambat, hanya 4,96 persen dibandingkan dua tahun sebelumnya, yakni 5,16 persen pada 2014 dan 5,43 persen pada 2013.

Tahun ini pemerintah dan BI optimistis pertumbuhan ekonomi bisa di atas lima persen. Pemerintah dalam APBN 2016 menargetkan 5,4, sedangkan BI di kisaran 5,2-5,6 persen. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo optimistis bisa mencapai target tersebut. Ini mengacu pada pencapaian positif sejumlah indikator makro ekonomi di awal tahun, bank sentral memperkirakan. Upaya pemerintah memacu penyerapan anggaran di awal tahun diharapkan bisa mendorong belanja rumahtangga dan swasta serta investasi.

“Dengan semua yang dilakukan pemerintah, (pertumbuhan ekonomi) bisa ke titik tengah yaitu 5,4 persen,” ujarnya. BI juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6,8 persen pada 2020.(Baca: Jokowi: Industri Harus Dibebaskan dari Aturan yang Berlebihan)

Reporter: Ameidyo Daud Nasution