KATADATA - Bank Indonesia sedang menggelar Rapat Dewan Gubernur yang dimulai sejak kemarin. Hari ini, bank sentral itu akan mengumumkan hasilnya, biasanya terkait paparan perkembangan kondisi ekonomi global dan nasional terkini. Termasuk juga perubahan suku bunga acuan.
Terkait bunga bank ini, pemerintah kerap meminta BI untuk memangkas BI Rate. Tujuannya supaya langkah itu diikuti perbankan sehingga bunga kredit pun tak lagi tinggi. Pemerintah memang berkepentingan agar rezim bunga tinggi berakhir untuk mendongkrak ekonomi yang sedang lesu.
Berdasrkan sejumlah indikator ekonomi, Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menyatakan semestinya BI Rate kembali dipangkas dari posisi saat ini 7,5 persen. “Saya pikir harusnya turun,” kata David kepada Katadata, Kamis, 18 Februari 2016.
Menurut dia, sejauh ini kebijakan akomodatif atau pelonggaran moneter oleh Bank Indonesia mendapat respons positif oleh pasar. Hal ini mengindikasikan adanya kepercayaan bahwa fundamental ekonomi Indonesia membaik. (Baca: BI Berpeluang Akhiri Rezim Bunga Tinggi).
Sebagai contoh tercermin dari susutnya defisit neraca perdagangan. Demikian pula dengan tekanan inflasi yang mereda, yang terlihat dari inflasi inti rendah. Alhasil, kedua indikator itu mampu mendorong masuknya dana asing atau inflow terutama Surat Utang Negara, yang dalam lima bulan takhir mencapai Rp 65 triliun. Selain itu, rupiah pun menguat secara stabil. Apalagi ada kemungkinan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, kembali menahan suku bunganya.
Belum lagi bila memperhitungkan belanja pemerintah pada bulan lalu yang sudah tembus Rp 1,5 triliun. “Tambahan lagi, bank-bank sentral dunia masih akomodatif seperti Jepang dengan bunga negatif dan Eropa mungkin menambah stimulus,” ujar David. (Baca juga: Bunga Acuan BI Rate Akhirnya Turun, Rupiah Tetap Stabil).
Penilai yang sama datang dari ekonom Bank Mandiri. Mereka menyatakan arah kebijakan suku bunga sangat ditunggu pasar. Bahkan, pasar memprediksi pemangkasan BI rate sebanyak 25 basis poin menjadi tujuh persen seiring indikator domestik yang makin stabil. “Berbagai indikator ekonomi terkini menunjukkan bahwa ruang bagi pemangkasan BI rate semakin terbuka,” demikian mereka menungkannya dalam analisa hariannya.
Misalnya, realisasi laju inflasi sampai bulan Jauaari lalu tercatat 4,14 persen, sejalan dengan target BI yang sebesar tiga sampai lima persen. Kinerja pertumbuhan Produk Domestik Bruto sampai dengan kuartal keempat tahun lalu tercatat menjadi 5,04 persen, meningkat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebesar 4,73 persen. Angka ini lebih baik dibandingkan dengan ekspektasi pasar yang memperkirakan hanya 4,8 persen. Sementara itu, kinerja neraca perdagangan membaik, yaitu surplus US$ 50,6 juta Januari 2016.
Kinerja yang membaik diperlihatkan pula oleh nilai tukar rupiah yang bergerak stabil dalam beberapa pekan terakhir seiring meningkatnya ekspektasi terhadap perbaikan ekonomi domestik. Pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah menguat 2,8 persen, hal yang sama juga dialami oleh beberapa mata uang negara dengan pasar berkembang lainnya seperti, Ringgit Malaysia dan Baht Thailand. (Lihat pula: Langkah Baru BI Antisipasi Kenaikan Bunga Fed Rate).
“Arus modal asing masuk ke pasar modal domestik sejak awal tahun sampai dengan 16 Februari 2016 mencapai Rp 33,1 triliun, di mana sebagian besar dalam bentuk Surat Berharga Negara sebanyak Rp 31,3 triliun, dan sisanya Rp 1,8 triliun masuk ke pasar saham,” kata mereka. Derasnya arus modal tersebut, terutama ke pasar obligasi, didorong oleh menguatnya ekspektasi yang membaik terhadap prospek ekonomi Indonesia. Selain itu, juga oleh harapan akan dinaikkannya peringkat utang Indonesia.