Pemerintah Bantah RUU Tax Amnesty Terjegal Barter Politik

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Muchamad Nafi
28/1/2016, 16.19 WIB

KATADATA - Setelah tertunda pada akhir tahun lalu, Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak akhirnya ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2016. Namun, ada kekhawatiran beleid tax amnesty ini terhambat. Pasalnya, Dewan Perwakilan Rakyat meminta barter dengan pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi.

Atas dugaan tersebut, Bambang Brodjonegoro menyangkalnya. Menteri Keuangan ini membantah lambannya penyerahan Amanat Presiden atau Ampres ke DPR terkait RUU Pengampunan Pajak karena tersandera masalah politik. Bila hingga kini draft dari pemerintah belum dikirim ke Sanayan, hal itu semata karena ada pasal yang belum tuntas dibahas.

“Bukan soal politik. Yang buat lama itu kami benar-benar ingin pasalnya sudah pas antara Dewan Perwakilan Rakyat, pengusaha, dan pemerintah,” kata Bambang di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis, 27 Januari 2016. (Baca: RUU Tax Amnesty Masih Terganjal Amanat Presiden).

Menurutnya, draf RUU Pengampunan Pajak sudah rampung. Saat ini rancangan beleid itu berada di Presiden. Seiring dengana itu juga akan mengeluarkan Amanat Presiden. Tetapi hingga saat ini Ampres belum juga dikirimkan ke DPR. Meski begitu, Bambang yakin RUU Pengampunan Pajak bisa disahkan di paruh pertama tahun ini dan diharapkan menambah penerimaan pajak hingga Rp 60 triliun.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi Hendrawan Supratikno mengatakan, ada kesepakatan politik antara DPR dan pemerintah bahwa RUU KPK harus berbarengan dengan RUU Tax Amnesty. Secara legal, Dewan meminta deal politik itu termuat dalam Ampres yang diharapkan segera terbit. Bila Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan Ampres, kata dia, artinya sudah ada kesepakatan politik. “Kalau Presiden sudah kasih Ampres, baru bisa dikatakan ada kesepakatan politik,” ujar dia. (Baca juga: Ganjal RUU Tax Amnesty, DPR Minta Jokowi Keluarkan Ampres).

Dari sisi ekonomi, beberapa ekonom mengatakan pengampunan pajak bisa memberi banyak keuntungan. Salah satunya, mendorong peningkatan penerimaan perpajakan. Dananya dapat dipakai untuk membiayai program pemerintah dalam membangun infrastruktur. Pengeluaran pemerintah ini diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi investasi.

Kepala Ekonomi Standard Chartered Aldian Taloputra juga berharap tax amnesty akan memasok valuta asing bila wajib pajak menempatkan dananya di dalam negeri atau repatriasi. “Untuk menuju pertukaran data terkait pajak secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI). Dengan step begini, saya rasa sentimennya akan lebih baik. Paling tidak tax amnesty akan membantu penarikan pajak yang domestik,” ujar Aldian. (Baca: Tax Amnesty Tak Menjamin Uang Kembali ke Indonesia).

Senada dengan Aldian, Advesory Service Ernst & Young Dodi Suryadarma mengatakan insentif ini akan membantu penerimaan pajak. Dana domestik di dalam negeri yang belum tercatat secara benar dalam sistem keuangan sebesar Rp 1.400 triliun. Sementara aset dari luar negeri yang bisa masuk bisa mencapai US$ 194 miliar atau setara Rp 2.700 triliun.

Di sisi lain, Dodi menekankan pemerintah harus memastikan mekanisme dan tarif yang efektif untuk menarik wajib pajak menempatkan dananya di dalam negeri. “Ada usulan bayar uang tebusan dua persen, tapi uang tidak masuk (repatriasi). Jadi uangnya tidak bisa dimanfaatkan untuk perekonomian,” ujarnya. “Kemudian, sistem di Direktorat Jenderal Pajak apa sudah memadai untuk memonitor pembayaran pajak selanjutnya? Kan tax amnesty tidak berlangsung lagi.”

Terkait dengan hal itu, Bambang menyatakan sedang mengkaji peraturan yang memungkinkan wajib pajak menempatkan dananya di Surat Berharga Negara (SBN). Namun bukan dengan menerbitkan SBN khusus. “Tapi cara mendapat SBN-nya melalui prosedur khusus yang repatriasi dalam konteks tax amnesty,” ujar Bambang.

Reporter: Desy Setyowati