KATADATA - Kondisi perekonomian dunia pada tahun ini diperkirakan masih rentan dan penuh risiko. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya 2,9 persen, atau lebih baik dari pencapaian 2015 sebesar 2,4 persen. Namun, angka itu lebih rendah dari proyeksi Bank Dunia sebelumnya pada medio 2015 lalu yang sebesar 3,3 persen. Hal itu karena dampak perlambatan ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menghadapi risiko lebih besar tahun ini.  

Dalam laporan terbarunya bertajuk “Global Economic Prospects” edisi Januari 2016, yang dirilis Rabu (6/1), Bank Dunia menjelaskan pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih kuat tahun ini akan tergantung beberapa faktor. Antara lain momentum pemulihan ekonomi di negara-negara maju, stabilisasi harga komoditas dan transisi bertahap perekonomian Cina dengan model pertumbuhan yang lebih bertumpu pada konsumsi dan sektor jasa.

Di sisi lain, laju perekonomian negara berkembang, yang sebelumnya berperan besar bagi pertumbuhan dunia, diperkirakan masih terus melambat. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang tahun 2016 sebesar 4,8 persen. Angkanya lebih baik dari pencapaian 2015 yang sebesar 4,3 persen, namun lebih rendah dari proyeksi yang dibuat Bank Dunia pada Juni 2015 lalu sebesar 5,4 persen.

(Baca: BI Ramalkan Empat Faktor Membayangi Ekonomi 2016)

Secara lebih spesifik, pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, tahun ini sebesar 6,3 persen, lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya 6,7 persen. Sebagai gambaran, ekonomi Cina tahun ini diperkirakan melambat menjadi 6,7 persen, sementara Rusia dan Brasil tetap terbelit resesi. “Ada perbedaan besar antara performa negara-negara berkembang. Dibandingkan enam bulan lalu, kini lebih banyak risiko,” kata Wakil Presiden dan Ekonom Utama Bank Dunia Kaushik Basu, dalam siaran pers Bank Dunia, Kamis (7/1).

Meski kemungkinannya kecil, negara-negara berkembang besar, seperti Cina, berpotensi mengalami pelemahan ekonomi yang lebih cepat sehingga memperburuk kondisi global. Dibandingkan 2015, perekonomian dunia tahun ini menghadapi risiko yang lebih banyak.

(Baca: Gubernur BI Peringatkan Dampak Kejatuhan Harga Minyak)

Selain terus berlanjutnya penurunan harga komoditas dan harga minyak, dunia juga menghadapi tekanan finansial gara-gara kebijakan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) menaikkan suku bunga secara bertahap tahun ini. Ditambah lagi oleh peningkatan risiko geopolitik seiring pertikaian di sejumlah kawasan. “Jangan lupa, tetap ada risiko guncangan finansial di era baru ketika biaya meminjam (dana) jadi lebih mahal,” imbuh Direktur Bank Dunia bagian Prospek Ekonomi Ayhan Kose.

Di sisi lain, melambatnya ekonomi Cina tahun ini bisa memicu beberapa dampak. Yaitu pasar finansial secara mendadak bakal bergejolak dan likuiditas makin ketat. Sebab, Cina saat ini sudah menjelma menjadi salah satu negara ekonomi terbesar di dunia.

Bank Dunia menganalisa, sebuah perlambatan yang berlarut-larut di pasar negara berkembang yang besar bisa mempengaruhi dan memukul negara-negara berkembang lainnya. Apalagi, Cina termasuk konsumen terbesar komoditas di dunia, yang harganya terus melorot saat ini. Misalnya, beberapa negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia dan Malaysia, akan mengalami  pertumbuhan yang lemah.

(Baca: IMF Menilai Kinerja Ekonomi Indonesia Tahun Ini Memuaskan)

Khusus untuk Indonesia, Bank Dunia menilai pertumbuhan ekonomi sekitar 4,7 persen pada tahun lalu merupakan titik dasar sehingga akan berbalik naik menjadi rata-rata 5,8 persen pada tahun 2016-2018. Tahun ini, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,3 persen atau lebih rendah dari taksiran awlanya sebesar 5,5 persen.

Prediksi tersebut lebih tinggi dibandingkan taksiran Dana Moneter Internasional (IMF), yang meramal ekonomi Indonesia tahun ini cuma tumbuh 5 persen. Sedangkan pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar 5,3 persen. Adapun Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi 2016 berkisar 5,2 hingga 5,6 persen.

Namun, Bank Dunia menggarisbawahi, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen tahun ini bisa tercapai kalau pemerintah bisa menjalankan delapan paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis sejak September tahun lalu. Paket itu diharapkan bisa memacu investasi dan mengerek produktivitas ekonomi.

Sedangkan secara umum, Kaushik Basu mengatakan, risiko perlambatan ekonomi dan gejolak pasar finansial bisa diatasi lewat kombinasi kebijakan fiskal oleh pemerintah dan kebijakan moneter oleh bank sentral. “Itu bisa mencegah risiko dan mendukung pertumbuhan ekonomi.”

Reporter: Desy Setyowati