KATADATA - Di awal tahun ini, pemerintah langsung tancap gas dengan menggenjot penyerapan anggaran melalui pembangunan proyek infrastruktur. Selain itu, menghimpun pendaaan untuk mengamankan anggaran negara tahun ini. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi tidak terlalu terganggu oleh sejumlah faktor negatif dari luar negeri.
Pasalnya, pemerintah melihat kondisi perekonomian beberapa negara di dunia tahun ini masih bakal melemah, bahkan berpotensi memburuk. Pertama, kondisi perlambatan ekonomi di Cina. Pangkal soalnya adalah indeks manufaktur Cina bulan Desember 2015 yang baru dirilis awal pekan ini sebesar 48,2 persen. Ini di bawah perkiraan dari para pengamat yang memprediksi indeks itu di level 48,9 persen.
Kondisi tersebut memicu kekhawatiran para pelaku pasar sehingga sempat merontokkan harga saham-saham di bursa Cina. Bahkan, otoritas bursa di negara tersebut sempat menghentikan sementara transaksi perdagangannya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui, kekhawatiran terhadap kondisi perekonomian Cina belakangan ini semakin meningkat. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi perekonomian di dalam negeri karena Cina merupakan mitra dagang utama Indonesia.
(Baca: Gubernur BI Peringatkan Dampak Kejatuhan Harga Minyak)
Namun, menurut Darmin, tak cuma perekonomian Cina yang mengkahwatirkan saat ini. Kondisi ekonomi Brasil juga tidak bagus, yang ditandai oleh membengkaknya rasio utang negara tersebut. Selain itu, memanasnya pertikaian politik di Timur Tengah antara Arab Saudi dan Iran dapat mempengaruhi perekonomian dunia, termasuk harga minyak. “Jadi memang globalnya tidak bagus,” katanya di Jakarta, Rabu (6/1).
Untuk mengantisipasi memburuknya kondisi eksternal terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah akan memacu pembangunan infrastruktur sejak awal tahun ini. Tujuannya agar pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi lagi. Hal itu juga bertujuan mempercepat penyerapan anggaran di awal tahun. Apalagi, pemerintah tak lagi menghadapi masalah perubahan nomenklatur kementerian yang terjadi pada tahun lalu.
(Baca: Ekonomi Menurun, Jokowi Akui Pasar Masih Meragukan Pemerintah)
Dari sisi penerimaan, pemerintah sejak akhir tahun lalu sudah mengamankan pos pembiayaan. Kementerian Keuangan telah menyiapkan utang lebih awal (pre-funding) alias ijon sebesar Rp 63 triliun yang bisa digunakan sejak awal 2016. Langkah ini untuk mengantisipasi memburuknya kondisi pasar global sehingga dapat mengganggu rencana pemerintah dalam mencari utang. “Kami akan bergerak cepat sejak Januari ini,” kata Darmin.
Secara terpisah, ekonom Chatib Basri mengatakan, tantangan ekonomi tahun ini adalah perlambatan ekonomi Cina dan anjloknya harga minyak dunia. Pasalnya, 60 persen dari ekspor Indonesia merupakan produk yang berhubungan dengan energi dan komoditas. Sementara Cina menjadi konsumen utama kedua produk tersebut.
Alhasil, ekspor Indonesia masih akan melemah tahun ini. Kondisi tersebut akan memicu efek berantai. “Penerimaan pemerintah bisa terpukul karena penyumbang paling besar dari pajak ialah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor sumber daya alam. Jika penerimaan pajak menurun, ruang untuk ekspansi pun terbatas,” kata bekas Menteri Keuangan ini.
(Baca: Tiga Sektor Bisnis yang Diramal Paling Cemerlang Tahun Ini)
Sebaliknya, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual meramal, penurunan harga komoditas dan minyak akan memasuki titik balik tahun ini. Alasannya, meski banyak pengusaha mengerem bisnisnya, permintaan pasar tetap meningkat. Kondisi ini akan mengerek kembali harga minyak dan komoditas. “Ekspor kalaupun turun, terbatas. Peluang naik justru besar,” imbuhnya.
Selain itu, David menilai, deregulasi dan paket kebijakan ekonomi yang sudah dirilis pemerintah sejak tahun lalu akan membawa dampak positif bagi peningkatan ekspor dan investasi dalam dua tahun hingga tiga tahun ke depan. “Sekarang titik baliknya di 2016. Kalau berhasil mengundang investasi masuk, jadi produk Indonesia berdaya saing.”