Deregulasi Masih Tersendat, Pemerintah Tunda Paket Jilid VII

KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
20/11/2015, 11.36 WIB

KATADATA - Pemerintah menunda pengumuman paket kebijakan ekonomi jilid ketujuh (VII)  pada pekan ini. Pasalnya, pemerintah saat ini masih fokus mengevaluasi perkembangan enam paket yang sudah dirilis sebelumnya. Terutama mengevaluasi paket kebijakan jilid I yang berisikan banyak deregulasi atau perubahan peraturan.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, evaluasi itu untuk mengetahui apakah peraturan yang direncanakan tersebut sudah diterbitkan atau belum. “Semua paket sebenarnya, di-review. Walaupun ada juga yang waktu diumumkan, Januari 2016 baru berlaku (peraturannya),” katanya di Jakarta, Kamis malam (19/11).

Dengan cara tersebut, pemerintah setidaknya bisa menyusun statistik yang menggambarkan jumlah regulasi, seperti Peraturan Pemerintah (PP), yang masih belum diterbitkan. Setelah itu, menurut Darmin, hasil evaluasi deregulasi tersebut akan dibahas dalam sidang kabinet awal pekan depan.

(Baca: Pemerintah Fokuskan "Paket September" untuk Sektor Riil)

Sekadar informasi, pemerintah merilis paket kebijakan ekonomi pertama kali pada 9 September lalu. Paket yang bertujuan membangkitkan ekonomi nasional di tengah perlambatan ekonomi dunia tersebut terdiri atas deregulasi sejumlah peraturan, debirokrasi alias penyederhanaan perizinan usaha dan penegakan hukum serta kepastian usaha. Ada sebanyak 134 peraturan yang diperbaiki atau dibuat baru, terdiri atas 17 peraturan pemerintah (PP), 11 peraturan presiden (Perpres), dua instruksi presiden (Inpres), 96 peraturan menteri (Permen) dan delapan aturan lainnya.

(Ekonografik: Paket September Menghadang Krisis)

Setelah itu, pemerintah rajin merilis paket kebijakan baru, hingga yang terakhir adalah paket kebijakan jilid VI pada awal November lalu. Namun, banyak pihak menganggap dampak enam seri paket itu dalam jangka menengah-panjang dan lebih fokus pada menggenjot sektor industri dan investasi.

Padahal, masyarakat saat ini menghadapi penurunan daya beli sehingga membutuhkan kebijakan pemerintah yang membawa efek cepat. Bahkan, Darmin pun pernah mengakui paket kebijakan jilid I terlalu ambisius karena memuat rencana deregulasi puluhan hingga ratusan aturan.

Atas dasar itulah, pemerintah berencana membuat paket kebijakan jilid VII yang fokus pada upaya mendongkrak daya beli masyarakat dalam waktu cepat. Di antaranya adalah kebijakan mengenai dana desa, memacu sektor usaha peternakan sapi dan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.

Sebelumnya, Darmin pernah mengatakan, kebijakan penurunan PPh Pasal 21 ini tengah didiskusikan dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait ketertarikan perusahaan. Terutama bagi perusahaan padat karya yang memiliki 2.000 tenaga kerja. “Kan tidak ada gunanya dikeluarkan, tapi tidak ada yang tertarik,” ujarnya.

Pada kesempatan berbeda, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menuturkan, insentif fiskal ini kurang diminati ketika diterapkan tahun 2008. Untuk itu, Kementerian Keuangan masih mengkaji kebijakan tersebut. Apalagi insentif ini juga bisa mengurangi potensi penerimaan pajak tahun ini. “Masih kami kaji, apalagi besarannya,” katanya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Firmanzah berpendapat, stimulus fiskal tersebut bisa meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga mendorong daya beli. Namun, di sisi lain, pemerintah perlu meredam kenaikan harga barang dan jasa. Seperti rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) 400 Volt Ampere (VA) karena akan memengaruhi pendapatan masyarakat.

Dia menilai, sulit meningkatkan daya beli masyarakat dalam waktu dekat. Karena itu, yang lebih penting adalah menjaga konsumsi rumahtangga tumbuh sekitar 5 persen sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Selain menjaga inflasi, pemerintah perlu mengantisipasi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan memberikan stimulus bagi industri padat karya.

Reporter: Desy Setyowati