KATADATA ? Pemerintah meminta Bank Indonesia (BI) menjaga laju inflasi komponen inti. Pada Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi inti tercatat sebesar 0,52 persen, naik dari bulan sebelumnya sebesar 0,34 persen.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah sudah berhasil menjaga laju inflasi umum. Ini terlihat dari laju inflasi Agustus yang sebesar 0,39 persen, lebih rendah dibandingkan pada Juli sebesar 0,93 persen.
Salah satu komponen yang mempengaruhi inflasi inti adalah nilai tukar. Menurut Menkeu, BI mesti menjaga nilai tukar rupiah supaya tidak bergejolak serta tingkat suku bunga acuan (BI Rate).
?Tugas BI agar core inflation ini manageable. Karena kalau tidak ada faktor lain, berarti inflasi tinggi pasti karena core inflation yang juga tinggi,? kata Bambang di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (1/9).
Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, antara lain interaksi permintaan-penawaran. Kemudian faktor eksternal seperti, nilai tukar, harga komoditas internasional, serta inflasi mitra dagang. Selain itu dipengaruhi pula oleh Inflasi dari pedagang dan konsumen.
Sementara inflasi non-inti terdiri dari inflasi komponen bergejolak, terutama yang dipengaruhi oleh kejutan harga bahan makanan. Kemudian inflasi komponen harga yang diatur pemerintah, seperti harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan. Kedua komponen inflasi ini merupakan tanggung jawab pemerintah.
Berdasarkan data BPS, inflasi yang disebabkan komponen barang bergejolak serta harga yang diatur pemerintah pada Agustus lalu masing-masing mengalami penurunan. Inflasi barang bergejolak tercatat sebesar 0,95 persen, turun dari 2,39 persen pada Juli. Sedangkan inflasi yang berasal dari komponen yang diatur pemerintah malah mengalami deflasi sebesar 0,45 persen.
Pemerintah, lanjut Bambang, cukup berhasil mengendalikan harga pangan terutama setelah lebaran. ?Tingkat bunga dan nikai tukar itu yang harus dijaga oleh BI,? kata Bambang.
Daniel Wilson, ekonom untuk kawasan ASEAN dan pasifik dari ANZ Research, menilai inflasi Agustus secara umum dalam kondisi stabil. Inflasi terjadi berasal dari komponen inti, terutama yang berasal dari biaya kesehatan dan pendidikan. Sementara dari sisi harga makanan dan transportasi sudah menunjukkan penurunan.
Dia menilai ada potensi kenaikan inflasi pada September yang disebabkan pelemahan nilai tukar rupiah dan dampak cuaca panas el-nino. Namun, jika pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) seiring dengan penurunan harga minyak internasional, inflasi kemungkinan bisa berkurang.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, dampak el-nino memang diprediksi akan terasa hingga Oktober. Kondisi ini akan berpengaruh pada harga beras pada September. Meski begitu, melihat pola yang terjadi dari tahun-tahun sebelumnya dia meyakini inflasi September tak akan jauh berbeda dengan Agustus.
?Itu (kenaikan harga gabah) sebagian besar di Agustus, tapi sebagian lagi dijual di September juga. Jadi mungkin beras mesti diwaspadai,? kata Sasmito.
Dia juga menambahkan, cadangan beras Bulog sebanyak 2 juta ton saat ini memang dinilai cukup. Namun, tetap ada kemungkinan pemerintah mengimpor beras bila harga gabah dijual murah, karena permintaan beras pasti akan meningkat di tengah produksi yang menurun.
?Kalau ada panen, mungkin, saya kira masih sedikit ada (kenaikan harga). Tapi saya kira tidak setinggi bulan Agustus. Kemudian, mungkin penggunaan stok dari beras sudah cukup,? ujar dia.