KATADATA ? Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyatakan, kondisi perekonomian saat ini berbeda dengan situasi krisis pada 1998 maupun 2008. Meski begitu, keduanya mengakui jika tetap perlu meningkatkan kewaspadaan menghadapi situasi yang tidak pasti.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, kondisi saat ini tidak lepas dari lambatnya pemerintah melakukan antisipasi penurunan harga komoditas. Sebetulnya, tren harga komoditas di pasar dunia sudah mengarah turun sejak 2011. Namun, pada saat itu pemerintah seolah terlena karena harga masih tinggi, sehingga ekonomi masih dapat tumbuh di kisaran 6 persen.
Di sisi lain, pemerintah dan dunia usaha tidak melakukan persiapan untuk memberikan nilai tambah atas produk komoditas. Akibatnya, kinerja ekspor tidak terangkat dan cenderung turun pada saat ini. ?Saya katakan Indonesia tidak dalam kondisi normal, tapi bukan krisis. Kata waspada adalah kata yang tepat menurut saya,? kata Bambang dalam diskusi bertema ?Waspada Ekonomi Indonesia? di Jakarta, Kamis (27/8).
Gubernur BI Agus Martowardojo menambahkan, kondisi saat ini sangat berbeda dengan krisis yang terjadi pada 1998. Dia menjelaskan, saat itu pertumbuhan ekonomi minus 13 persen dan inflasi melonjak 77 persen. Suku bunga acuan (BI Rate) juga ditingkatkan hingga ke level 57 persen. Sedangkan cadangan devisa hanya US$ 21 miliar, ini pun sudah menerima bantuan dari lembaga internasional.
Pada tahun ini, lanjut dia, ekonomi masih tumbuh 4,7 persen pada semester I-2015. Inflasi juga dipastikan akan mengarah pada target 4 persen plus minus 1 persen pada akhir tahun. Selain itu, pelemahan rupiah saat krisis 1998 berlangsung sangat cepat dari Rp 2.000 menjadi Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara pada saat ini, depresiasi rupiah dari Rp 12.000 menjadi Rp 14.100 per dolar AS terjadi dalam waktu lama. Apalagi, cadangan sebesar US$ 107 miliar dinilai cukup untuk membiayai impor dan melakukan intervensi di pasar keuangan.
?Kalau (rupiah melemah) Rp 14.100 per dolar AS kami sampaikan bahwa itu sudah overshoot dan undervalued. Jadi eksportir harusnya terpanggil untuk melepas dolar AS. Memang ada dana asing yang keluar , tapi rupiah sudah melemah dari nilai fundamentalnya,? tutur dia.
Ketika krisis di ujung pemerintahan Soeharto, menurut Agus, tidak ada tim untuk mengatasi inflasi. Kondisi perbankan saat itu juga buruk. Sedangkan sekarang, Presiden Joko Widodo bahkan memimpin langsung rapat dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Sementara kondisi perbankan masih sehat, yang dilihat dari permodalan maupun kualitas kredit.
Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Edimon Ginting sependapat, bahwa perekonomian saat ini jauh dari krisis. Dia mengakui goncangan ekonomi saat ini besar, tetapi tidak akan membawa perekonomian Indonesia kepada krisis. Sistem keuangan juga dinilai lebih kuat terhadap tekanan eksternal.
Dalam pandangannya, investor juga sudah lebih pandai dalam menganalisa fundamental ekonomi Indonesia yang mulai membaik. ?Namun pemerintah memang perlu sangat waspada di dalam menyikapi kondisi ekonomi global terkini. Dengan apa yang terjadi di Cina dan pasar modal yang melemah hampir di semua negara,? tutur dia kepada Katadata.