Rentan Intervensi, Saham BUMN Berjatuhan

Arief Kamaludin|KATADATA
23/7/2015, 14.14 WIB

KATADATA ? Pemerintah diminta tidak melakukan intervensi secara terbuka kepada badan usaha milik negara (BUMN), terutama  yang telah mencatatkan sahamnya di bursa. Intervensi terbuka dapat dilihat oleh investor bahwa BUMN bukan lagi menjadi perusahaan yang menguntungkan. Hal ini dapat berimbas terhadap harga saham perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut.

Tercatat sejak awal tahun ini, pemerintah sudah beberapa kali melakukan intervensi terhadap BUMN. Pertama, memerintahkan perusahaan semen menurunkan harga pada awal tahun sebagai pengimbang kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kedua, meminta perbankan menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR). Ketiga, meminta operator jalan tol memberikan diskon tarif selama masa lebaran.

Menurut David Nathanael Sutyanto, analis First Asia Capital, pasar akan merespons negatif terhadap intervensi pemerintah ke BUMN. Apalagi bila intervensi tersebut berpengaruh kepada pendapatan BUMN.

Dia mencontohkan, keinginan pemerintah agar suku bunga KUR yang diterima masyarakat diturunkan menjadi 12 persen. Dari besaran bunga tersebut, pemerintah kemudian hanya memberikan subsidi sebesar 7 persen. Dengan demikian, bunga yang diterima bank hanya 19 persen, turun dari sebelumnya sebesar 22 persen.

?Akibatnya saham jadi negatif. Prospeknya sebenarnya masih bagus. Tapi kalau pemerintah intervensi terus, pelaku pasar akan merespon negatif,? kata dia saat dihubungi Katadata, beberapa waktu lalu.

(Baca: Bunga KUR Diturunkan, Bank Jadi Tidak Efisien)

Guntur Tri Hariyanto, analis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengatakan, kebijakan pemerintah tersebut bisa menyebabkan margin laba bank turun cukup tajam, terutama bank yang memiliki eksposur KUR besar, seperti BRI.

Bagi perbankan BUMN, penurunan suku bunga KUR merupakan tambahan tekanan terhadap kinerja sahamnya. Saham perbankan sebelumnya tertekan oleh kemungkinan target penyaluran kredit sebesar 17 persen yang tidak tercapai. Bank Indonesia (BI) menurunkan target kredit dari 15 persen-17 persen menjadi 13 persen-15 persen di tengah perlambatan ekonomi pada tahun ini.

(Baca: Pernyataan JK Dianggap Picu Pelemahan Rupiah)

Dilihat sejak awal tahun, saham-saham perbankan BUMN tercatat mengalami penurunan cukup tajam. Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) tercatat turun 11,16 persen, kemudian saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) sudah turun 15,16 persen. Sementara saham PT Bank Mandiri Tbk turun 3,48 persen.

(Baca: Pengumuman Presiden Merontokkan Saham Emiten Semen)

Selain saham-saham perbankan BUMN, perusahaan pelat merah lainnya juga mencatatkan penurunan yang lebih tajam lagi. Saham PT Semen Indonesia Tbk, misalnya. Saham emiten dengan kode SMGR tersebut bahkan sudah turun 28,39 persen sejak awal tahun. Turunnya saham Semen Indonesia ini selain karena intervensi pemerintah soal harga jual, juga akibat belum lancarnya realisasi kegiatan pembangunan infrastruktur dan penjualan properti.

 (Baca: Saham Semen Berguguran, Kapitalisasi Pasar Hilang 8 Triliun)

Kemudian saham operator jalan tol,  PT Jasa Marga Tbk, juga mengalami penurunan yang cukup tajam, yakni 17,37 persen sejak awal tahun. Penurunan paling dalam terutama sejak perintah Presiden Joko Widodo pada 12 juni lalu, agar operator jalan tol memberikan diskon tarif sebesar 25 persen-35 persen selama masa lebaran.

Menurut Kiswoyo Adi Joe, analis dari Investa Saran Mandiri, pendapatan Jasa Marga berpotensi berkurang 10 persen akibat kebijakan pemerintah tersebut. Potensi penurunan ini memang tidak terlalu signifikan sebab diskon diberikan hanya sepanjang lebaran.

Namun, kebijakan ini bisa mendorong mobil-mobil bermuatan besar ikut masuk jalan tol. Hal ini dikhawatirkan akan merusak badan jalan, sehingga Jasa Marga harus menanggung beban untuk memperbaiki kerusakan. Alih-alih menambah pendapatan, hal itu malah bisa memperbesar beban perusahaan. ?Penurunan pendapatan mungkin tidak seberapa besar. Tapi efeknya, begitu diturunkan itu kan truk lewat. Membetulkan (jalan) mahal. Truk 'bilang' bermuatan 100 ton, padahal bisa 300 ton,? kata Kiswoyo.

(Baca: Investor Khawatirkan Campur Tangan Pemerintah di Industri)

Budi Frensidy, Direktur Fund and Fun, mengatakan, kebijakan ini akan berpengaruh pada pendapatan Jasa Marga. Untuk itu, investor memilih menjual saham emiten tersebut, sehingga harga sahamnya turun tajam. Padahal, sebelum diumumkan kebijakan tersebut, harga saham JSMR sempat menguat ke level Rp 6.250 per saham.

?Target penjualan dan pendapatan di bulan ini yang diperkirakan tinggi-tinggi (karena lebaran), jadi tidak tercapai. Tapi penurunan pendatan tidak signifikan karena cuma dua mingguan,? ujar Budi.

Kendati begitu, Guntur optimistis masih ada sentimen positif yang bisa mendorong kenaikan saham perbankan. Terutama bila BI melonggarkan kebijakan rasio agunan terhadap harga jual (Loan to Value/LTV) mampu mendorong pertumbuhan kredit. Meskipun diperkirakan belum akan signifikan.

Namun, menurut Analis Ascend Agus Susanto Benzaenuri, penurunan harga saham perbankan seperti BRI dan BNI didorong oleh pesimis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa target pertumbuhan kredit 17 persen akan sulit tercapai tahun ini. Pesimistis ini menjadi tekanan utama terhadap sektor perbankan.

Sedangkan pengaruh dari kebijakan pemerintah menurunkan bunga KUR UMKM, menurut dia, tidak berdampak signifikan terhadap saham perbankan. Kendati begitu, dia menilai bunga KUR yang rendah tidak sesuai dengan risiko sektor perbankan yang masih tinggi saat ini.

?(Pesimistis pertumbuhan kredit) cenderung menekan saham perbankan meskipun sejak awal tahun sektor perbankan dan properti masih menjadi leader dari semua sektor di BEI. Penurunan bunga UMKM hingga 12 persen belum memungkinkan untuk kondisi di Indonesia karena faktor risiko sektor ini masih tinggi sehingga bunga yang dikenakan pun masih tinggi,? ujar Agus.

Reporter: Desy Setyowati