Pengusaha Penyebab Lamanya Bongkar-Muat di Tanjung Priok
KATADATA ? Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan menyalahkan pelaku usaha sebagai penyebab lamanya waktu tunggu bongkar muat hingga keluarnya barang (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Bea Cukai Supraptono mengatakan masalah utama lamanya dwelling time adalah pada proses penyimpanan dan penyiapan dokumen peti kemas di pelabuhan (pre customs clearance).
Proses dwelling time terbagi dalam tiga tahapan yang meliputi aktivitas bongkar, penyimpanan dan penyiapan dokumen peti kemas di pelabuhan (pre customs clearance), aktivitas kepabeanan (customs clearance), dan pengangkutan serta pembayaran yang melibatkan perbankan (post customs clearance).
Sebenarnya proses pre customs clearance hingga importir menyerahkan pemberitahuan impor barang (PIB) kepada Ditjen Bea Cukai, ditargetkan hanya 2,7 hari. Namun, karena pengusaha lamban mengurus PIB tersebut, sehingga saat ini proses pre customs clearance mencapai 3,6 hari.
Inilah yang membuat dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok memakan waktu hingga 5,5 hari. Padahal pemerintah menargetkan dwelling time bisa ditekan hingga 4,7 hari.
Ditjen Bea Cukai mencatat sebanyak 43 persen importir sengaja memperlama waktu keluar barang, lantaran tidak memiliki gudang di luar pelabuhan. ?43 persen importir itu baru menyampaikan PIB setelah tiga hari sejak pembongkaran barang impor, baik yang membutuhkan izin maupun tidak. Karena kebanyakan tidak memiliki gudang di luar dan pelabuhan dinilai lebih aman,? kata Supraptono di Jakarta, kemarin.
Menurut Supraptono, tarif yang ditetapkan otoritas pelabuhan, yakni PT Pelabuhan Indonesia II, untuk setiap kontainer yang menginap masih sangat murah. Tarif parkir ini lebih murah dibandingkan jika pengusaha menyewa gudang di luar pelabuhan.
Dalam hal ini Ditjen Bea Cukai mengaku tidak memiliki kewenangan untuk penentuan tarif tersebut. Makanya dia mengusulkan agar otoritas pelabuhan dan perusahaan tempat penimbunan sementara (TPS) menaikkan tarif parkir container di pelabuhan, sehingga lebih progresif.
Selain masalah perilaku importir, pemeriksaan barang larangan dan pembatasan (lartas) juga menjadi pemicu tahap pre customs clearance memakan waktu 3,6 hari. Sekitar 51 persen komoditas impor masih diwajibkan memenuhi lartas dari instansi teknis terkait.
Instansi yang terlibat dalam perizinan lartas ini adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian ESDM, Kementerian Pertahanan. Termasuk pula, Markas Besar (Mabes) TNI dan POLRI, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), dan Bank Indonesia.
Untuk penyelesaian permasalahan tersebut, Supraptono mengusulkan agar seluruh instansi terkait bisa meningkatkan pemanfaatan fasilitas pemberitahuan PIB pendahuluan (pre-notification) untuk jalur prioritas. Perlu ada Koordinasi secara berkala dengan Pusat Penanganan Perizinan Impor Ekspor Terpadu (P3IET) sebagai penerbit lartas di pelabuhan Tanjung Priok.
?Kami juga usulkan agar sistem Indonesia National Single Window (INSW) disempurnakan, yakni berupa percepatan jaringan dan penambahan fitur. Kami yakin ini membantu mempercepat penerbitan lartas,? ujar dia.