BI Hati-Hati Keluarkan Kebijakan Moneter

KATADATA
Bank Indonesia akan berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan moneternya.
12/6/2015, 16.43 WIB

KATADATA ? Bank Indonesia (BI) akan berhati-hati mengeluarkan kebijakan moneternya. Perlambatan ekonomi global serta belum membaiknya indikator perekonomian di dalam negeri merupakan tantangan yang dihadapi bank sentral.

Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara mengatakan, persoalan utama yang dihadapi Indonesia adalah ketergantungannya yang cukup tinggi terhadap dana dari luar negeri. Implikasinya, dana asing berpotensi keluar seiring rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS). Keadaan ini yang mempengaruhi defisit neraca transaksi berjalan.

?Di negara lain, seperti Korea dan Malaysia, neraca transaksi berjalannya surplus. (Sedangkan) kita defisit, maka kami harus kelola makro ekonomi lebih prudent, lebih hati-hati,? kata Mirza di Gedung BI, Jakarta, Jumat (12/6).

Bank sentral, lanjut dia, akan mempertahankan kebijakan moneter yang bias ketat. Dalam rapat dewan gubernur BI pada Mei lalu memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) tetap di posisi 7,5 persen. Kebijakan dalam rangka untuk menjaga inflasi sesuai target 4 plus minus 1 persen, serta neraca transaksi berjalan 2,5 persen-3 persen pada akhir tahun.

(Baca: BI Ingin Koreksi Target Pertumbuhan Ekonomi di Semester II)

Selain kebijakan moneter ketat, BI juga telah melonggarkan kebijakan rasio agunan terhadap harga jual atau loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB). Kebijakan ini merupakan upaya bank sentral mendorong pertumbuhan konsumsi.

Sementara untuk memperkuat likuiditas, BI merevisi perhitungan rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) dalam kebijakan giro wajib minimum (GWM). Dengan memasukkan surat berharga yang dikeluarkan bank dalam perhitungan LDR.

BI juga berencana memberi insentif dan disinsentif bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), yakni minimal 5 persen pada tahun ini dan bertahap meningkat hingga mencapai 20 persen pada 2018.

Nantinya, bagi bank yang menyalurkan kredit ke UMKM melebihi batas yang ditentukan, maka diperbolehkan menyalurkan kredit hingga melebihi batas ketentuan LDR sebesar 92 persen. Mereka dapat menyalurkan hingga maksimal 94 persen rasio pinjaman terhadap pendanaan atau loan to funding ratio (LFR).

(Baca: Tak Bisa Andalkan BI untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi)

Ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi mengatakan, kebijakan moneter yang bias ketat masih diperlukan pada saat ini. Inflasi dan defisit transaksi berjalan merupakan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam jangka pendek. Inflasi kemungkinan akan naik menjelang puasa dan lebaran. Begitu pula dengan defisit transaksi berjalan yang dinilai belum berada pada situasi yang aman.

?Defisit transaksi berjalan memang sudah ada kemajuan, tapi masih perlu ditingkatkan. Memang BI menilai defisit sebesar 2,5 persen-3 persen masih wajar, tapi itu tidak sustain. Dalam pandangan kami yang aman sekitar 2 persen,? kata Gundy beberapa waktu lalu.

Sejumlah lembaga keuangan dunia pun telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini. Lembaga-lembaga itu memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di bawah 5 persen.

Ada sejumlah persoalan yang dinilai menjadi hambatan Indonesia. Dari sisi global, perlambatan ekonomi dunia, terutama Cina yang menjadi mitra utama perdagangan Indonesia, membuat permintaan produk dalam negeri menurun. Sementara rencana kenaikan suku bunga AS berdampak terhadap keluarnya modal asing serta menyebabkan kurs rupiah semakin lemah.

(Baca: Pasar Peringatkan Pemerintah)

Sementara dari dalam negeri, masih tingginya tingkat suku bunga berdampak terhadap daya beli masyarakat. Penurunan ini, menurut ekonom untuk kawasan ASEAN & Pasifik ANZ Research Daniel Wilson, berpotensi menyeret ke bawah pertumbuhan secara keseluruhan.

Gubernur BI Agus Martowardojo beberapa waktu lalu pernah menyatakan, pertumbuhan ekonomi akan berada di rentang 5,4 persen sampai 5,8 persen pada tahun ini. Dengan kecenderungan pada level bawah. BI pun berencana mengoreksi proyeksi pertumbuhan pada semester II sembari menunggu kinerja perekonomian pada kuartal II.

Adapun Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sebelumnya memperkirakan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen akan sulit tercapai. Ini karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang akan berada di kisaran 5 persen-5,1 persen, turun dari realisasi pada tahun lalu sebesar 5,5 persen.

Dia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini hanya akan sebesar 5,4 persen. 

Reporter: Desy Setyowati